Minggu, 19 Juni 2011

Perkembangan Kesultanan Banten

Sebagaimana layaknya sebuah kota Islam, Banten Lama juga memiliki beberapa ciri yang secara umum ditemukan pada kota-kota Islam yang sejaman di beberapa bagian dunia. Pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan yang terpenting (sebagaimana masyarakat muslim di Indonesia, Afrika, dan negara-negara Arab) kota Islam memiliki ciri dengan adanya istana, pasar-pasar dan masjid-masjid.
Pemukiman dibagi menurut pekerjaan dan etnik, sebagaimana kota-kota Islam di dunia pada abad pertengahan dan akhir. Bahkan dapat dikatakan bahwa kota Banten adalah kota muslim terbesar di Indonesia, tidak saja pada awalnya, tetapi mungkin dalam seluruh sejarahnya.
Jika muncul kota-kota di Jawa berkoinsidensi dengan penyebaran Islam, kemudian unsur-unsur komponen kota muncul sebagaimana di banyak kota dalam dunia Islam, seseorang mungkin dapat menduga bahwa pola-pola pemukiman di dalam kota-kota itu tentunya merupakan turunan dari bentuk baku kota-kota Islam. Informasi sejarah telah menunjukkan bahwa asumsi demikian tidaklah selalu benar. Distribusi fisik berupa bangunan bagi kepentingan umum dan perseorangan di beberapa kerajaan di Jawa, lebih banyak melanjutkan tata letak tradisional Jawa pada masa sebelum Islam.
Jawa dapat dikatakan telah memiliki pola tersendiri di dalam urbanisasi, dengan beberapa unsur yang serupa dengan kota-kota yang sejaman pada bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Dalam penyebarannya Islam bukanlah merupakan hasil suatu perubahan yang revolusioner di dalam tata cara hidup orang Jawa, tetapi lebih tepat sebagai hasil proses evolusi secara bertahap. Berbeda halnya dengan kota Banten. Kota yang satu ini merupakan kota baru yang dibangun dari suatu daerah sepi penduduk dan sedikitnya bangunan asal. Kota yang dilandasi pembangunannya oleh motivasi islamisasi ini dibuat (mungkin sedikit) berbeda dengan tradisi yang hidup di masyarakat, walaupun akhirnya memanfaatkan tradisi itu untuk menguatkan keberadaan kerajaan dan Islam.
Dari sumber-sumber sejarah, kita tidak mungkin merekontruksikan tingkat-tingkat pertumbuhan sebuah kota secara rinci. Begitu penelitian arkeologi diselengarakan, bagaimanapun kita lebih banyak memperoleh informasi mengenai hubungan-hubungan antara perubahan keagamaan dengan perubahan aspek-aspek budaya yang lainnya. Ketika pada tahun 1596, di kota Banten, pemukiman dan kehidupan penduduknya telah mengalami berbagai perubahan.
Gambaran pertama yang terlihat pada penduduk kota ialah bahwa ia telah diresapi agama Islam, tetapi alam kota dimana mereka tinggal, masih menunjukkan gejala yang berasal dari masa yang lebih tua, dan mungkin lebih merupakan setting suatu pedalaman agraris yang sangat berbeda dengan pusat komersial yang sibuk di tepi jalur pelayaran internasional.
Seperti halnya kota-kota di Eropa, Banten Lama juga dikelilingi oleh berbagai tembok kota, yang dimensinya tidak terlalu jelas, dan dibuat dari bata.
Dinding batas kota tersebut jelas digunakan sebagai pertahanan; di bagian atas ditempatkan meriam, dan di beberapa bagian didirikan menara pengawas (pengintai). Untuk memasuki kota, seseorang harus melalui pintu-pintu gerbang di beberapa bagian. Pintu-pintu tersebut (yang dikatakan sangat sulit (karena besar dan beratnya) dijaga ketat dan sulit didekati tanpa teramati oleh para penjaga.
Terdapat tiga buah pintu gerbang untuk masuk ke dalam kota Banten, yaitu: satu di selatan, satu di barat yang disebut sebagai pintu (gerbang ?) gunung yang yang berhadapan dengan Gunung Gede, dan satu lagi di utara yang disebut sebagai pintu air. Pembuatan tembok kota dilanjutkan ketika akan terjadi serangan dari Mataram pada tahun 1598, tetapi ketika ancaman menyurut, tembok-tembok tersebut terabaikan, dan akhirnya mulai runtuh.
Setelah Maulana Hasanuddin mengalahkan Banten, secara cepat Banten menjadi pelabuhan utama di Jawa Barat menggantikan kedudukan pelabuhan Sunda Kelapa. Pada abad ke-16 Banten berada di atas pelabuhan-pelabuhan lain dalam menguasai pasar di sepanjang pantai utara Jawa. Pada tahun 1596, Banten merupakan pelabuhan terbesar dan paling menguntungkan dibanding dengan pelabuhan lainnya. Sayangnya, keterangan yang memaparkan tentang keadaan sepanjang 70 tahun di awal perkembangannya sangatlah sedikit.
Banten tumbuh sebagai ibu kota Islam sampai datangnya kapal pertama dari Eropa di pelabuhan Banten. Penulis catatan dari Portugis, da Couto, dalam sebuah sumber yang mungkin berasal dari masa sebelum tahun 1570, menerangkan bahwa ukuran kota Banten: panjangnya 850 pal, dan lebar sampai ke pantai 400 pal.
Jalan dari pedalaman ke dalam kota nampak semakin melebar. Perahu-perahu dapat berlayar sampai ke pusat kota melalui kanal-kanal yang terdapat di sekelilingnya. Pada salah satu sisi pemukiman terdapat benteng bata setebal tujuh lapis dan juga terdapat perbentengan kayu, yang dilengkapi dengan senjata.
Banten Lama boleh jadi merupakan kota terbesar di pantai utara Jawa (dan juga mungkin terbesar di seluruh Indonesia) pada tahun 1596; De Houtman memperkirakan bahwa luas Banten Lama mungkin sama dengan kota Amsterdam, kota tempat pelayarannya dimulai. Banten memiliki sejumlah ciri pokok sebagaimana pelabuhan besar lainnya di Jawa pada kurun waktu yang sama.
Deskripsi tertua yang cukup terinci tentang Banten ditulis oleh pendatang pertama dari Belanda dan Inggris yang tiba di Banten pada tahun 1596. Mungkin masih ada arsip-arsip di Portugal yang berisi naskah-naskah yang berusia lebih tua, tetapi jika pun ada tetap belum terungkapkan.
Gambaran pertama tentang kota Banten, baru diketahui setelah menjadi kota muslim selama 70 tahun. Kota Banten tumbuh dari pelabuhan nomor dua di kerajaan Pajajaran menjadi pusat kota internasional yang utama, dimana pedagang-pedagang asing membentuk diri sebagai bagian penduduk yang penting, dan selanjutnya muncullah pemukiman-pemukiman khusus.
Pada abad ke-15 beberapa musafir Cina memperkirakan populasi beberapa pelabuhan di Jawa; ini merupakan sumber tertua yang berisi informasi mengenai kependudukan. Perkiraan orang Cina untuk beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa seperti Tuban dan Gresik, sekitar tahun 1430, hanyalah sekitar 5000 jiwa.
Di dalam tembok kota Banten terdapat tiga jalan, tetapi jalan-jalan tersebut tidak dikeraskan sehingga sangat becek (berlumpur). Bagaimanapun seluruh bagian kota dapat dilalui perahu yang dilengkapi dengan sarana-sarana transportasi yang efisien bagi penduduk dan barang.
Sistem transportasi dalam kota dihubungkan dengan dua sungai, baik yang mengalir dari sebelah timur maupun barat kota. Jalan masuk menuju jaringan transportasi air di dalam kota ini juga diawasi (dikendalikan) dengan perintang-perintang bambu, yang bila malam hari direndahkan (diturunkan).
Di sana terdapat beberapa jembatan, misalnya terdapat di Karangantu, di sebelah timur kota, dan di dekat Mesjid Agung yang disebut dengan Jembatan Rantai, yang ujung-ujungnya diberati dengan batu. Sistem penyeberangan sungai dengan perahu tambang juga ada, tetapi dilarang dilakukan pada malam hari, untuk alasan keamanan.
Banten bukanlah satu-satunya kota yang memiliki lingkar benteng pertahanan. Cirebon, Demak dan Tuban juga memiliki tembok kota dari bata, pada tahun 1596. Sementara itu kota-kota pelabuhan yang lain seperti, Jayakarta, Jepara, dan Blambangan juga memiliki tembok pertahanan dari bambu atau kayu.
Di pusat kota terdapat sebuah bangunan besar tempat kediaman raja Banten yang disebut istana Surosowan. Di depan istana, di sebelah utara, itu terdapat lapangan terbuka yang berukuran luas yang disebut dengan alun-alun. Sejumlah kegiatan diselenggarakan di alun-alun, termasuk di antaranya kegiatan pertemuan dewan kerajaan, sidang pengadilan dan beberapa kegiatan (peragaan) publik lainnya. Di pagi hari, alun-alun juga digunakan untuk penyelenggaraan pasar.
Bangunan datar yang ditinggikan dan beratap didirikan di dekat istana, digunakan oleh raja untuk bertatap muka atau untuk tempat menunggu raja, yang disebut dengan srimanganti. Di sebelah barat didirikan mesjid utama. Kediaman para syahbandar menempati sisi timur alun-alun, sedangkan di tepi utara dibatasi oleh sebuah sungai.
Di sudut timur laut alun-alun di atas tepi sungai, ditempati bangunan beratap untuk melindungi beberapa parahu perang, beberapa fusta dan beberapa perahu besar lainnya. Sebuah sumber dari tahun 1680 menyebutkan bahwa sultan Agung memiliki 25 kapal yang digerakkan dengan dayung. Gajah milik raja juga ditempatkan di dekat penambatan kapal-kapal itu.
Nama lain bagi Surosowan, mungkin lebih awal, yaitu Kedaton Pakuwuhan. Tempat tinggal raja yang pertama di Banten mungkin didirikan di dekat Karangantu, tetapi antara tahun 1552 dan 1570, pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, barulah dimulai pembangunan istana di situs istana di Banten. Penerbitan keterangan tertua dibuat oleh Verhaghen, yang didasarkan pada kunjungannya bulan Maret 1600. Begitu ia mendekati istana dan memasuki pintu gerbang pertama, terlihat beberapa rumah rendah yang diapit oleh dua rumah jaga tempat tentara-tentara ditugaskan.
Di dekatnya terdapat gudang persenjataan, kemudian ruangan yang disediakan bagi para pengrajin. Beberapa di antara mereka mungkin adalah pengrajin emas, suatu pekerjaan biasa yang dikuasai oleh para penguasa Indonesia. Istana di Aceh dikatakan telah menggunakan 300 pekerja.
Air raksa dijual oleh orang-orang Cina di pasar, boleh jadi telah digunakan dalam kaitannya memperindah melalui teknik mencampur emas dengan air raksa; cairan emas dan air raksa kemudian dituang untuk melepaskan unsur-unsur yang tidak murni. Melalui pemanasan yang tinggi maka unsur air raksa akan menguap, yang tersisa kemudian hanyalah emas.
Verhaghen kemudian berjalan melalui pintu gerbang kedua, yang diukir indah sekali, diapit oleh dua rumah sederhana yang diperuntukkan bagi pelayan-pelayan gubernur, dan kemudian sampai di lapangan luas (alun-alun) dan mesjid kerajaan. Pada sisi kiri terdapat rumah jaga lainnya dengan pengawal.
Antara rumah jaga dan jalan masuk ke istana, terdapat portal yang diukir; dan melalui tempat ini, seseorang dapat melihat sebuah kolam kecil dan sebuah balai atau paviliun di atas tiang (rumah panggung) dimana ditebarkan tikar-tikar yang dianyam indah sekali.
Dinding pagar Surosowan tingginya sekitar 2 meter, lebar 5 meter, panjang pada bagian timur barat 300 meter, sedangkan pada bagian utara selatan 100 meter, Jadi luas daerah yang dibentengi sekitar 3 hektar. Di sudut-sudut terdapat bastion-bastion yang berbentuk intan, dan di tengah dinding utara dan selatan berbentuk proyeksi setengah lingkaran. Perbentengan ini terbuat dari bata dengan tipe-tipe yang berbeda, menurut ukuran bahan dan teknik pembuatannya.
Beberapa tipe adonan juga digunakan, termasuk tanah liat, campuran pasir dan kapur. Dingding tersebut tidak kokoh, tetapi diisi tanah. Pada dinding bagian utara disediakan ruangan untuk kamar-kamar. Pada bagian luar dinding telah diperkuat bagian dalamnya untuk mencegah roboh ke arah dalam, yang nampaknya semula direncanakan berdiri sendiri.
Istana ini hancur oleh kebakaran pada bulan Desember 1605, dan pada tanggal 16 Juni 1607 terbakar habis, yang menurut pernyataan Saris, kepala perwakilan Inggris di Banten, kebakaran tersebut sama sekali tidak dapat diterima akal. Istana kemudian dibangun di tempat yang sama.
Pada tahun 1661 dihiasi beberapa pohon. Sekitar tahun 1680, Sultan Haji membangun benteng di sekitar istana untuk menangkis serangan dari Sultan Ageng, ayahnya. Karena serangan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682, seluruh kota rusak akibat kebakaran, dan Sultan Haji terkurung di dalam benteng sampai ia dibebaskan oleh tentara Belanda. Cardeel, seorang penghianat Belanda dan tukang batu, membantu pembangunan perbentengan Surosowan.
Menurut Stavorinus, pada tahun 1769 sebuah prasasti dalam bahasa Belanda dapat dilihat di atas portal utama: “Ini didirikan oleh Hendrik Laurentsz yang lahir di Steenwijk”. Penelitian terhadap arsitektur perbentengan, bagaimana pun berkesimpulan bahwa perbentengan tersebut jelas dibangun secara bertahap, bukan satu tahap seperti yang ditulis oleh Cardeel.
Pada mulanya terdapat tiga gerbang, di utara, timur dan selatan. Beberapa kali terjadi gerbang selatan itu ditutup. Gerbang utama di sebelah utara, berhadapan dengan alun-alun, sedangkan gerbang di sebelah timur dibuat dalam bentuk lengkung, dimaksudkan untuk mencegah tembakan langsung pada portal bila pintu gerbang dibuka.
Tiap tahap pembangunan dinding ini dapat diamati pada gerbang bagian utara, yang secara relatif masih terpelihara dengan baik pada fase pertama; pada fase kedua, dinding ini dipotong; dan pada pembangunan fase ketiga, kembali dinding ditutup dengan batu karang. Gerbang di sebelah timur telah runtuh tapi agaknya mengalami modifikasi serupa.
Dinding yang asli mungkin adalah tembok keliling dari istana, untuk melindungi para penghuninya dari pandangan kelas lebih bawah, dari pada dalam fungsinya untuk menjaga serangan. Selama pembangunan pertama lebarnya tidak lebih dari pada 100 – 125 meter, tanpa bastion, dibangun dari susunan bata berukuran besar yang dicampur dengan adonan tanah liat (lempung).
Pada masa pembangunan tahap kedua, didirikan dinding bagian dalam, dan bastion pun ditambahkan. Dinding ini merupakan penahan api/kebakaran. Pembangunan ini kemudian diikuti pembangunan fase ketiga, yaitu pendirian kamar-kamar di sepanjang dinding utara, penambahan lantai untuk mencapai dinding penahan api (parapet), gerbang utara diperbaharui, gerbang selatan disisipi tetapi kemudian ditutup kembali.
Pada pembangunan fase keempat, dikembangkan pengubahan lainnya pada gerbang utara dan mungkin pada gerbang timur, dan dinding bata ditutupi secara merata dengan karang pada bagian luarnya. Pembangunan yang kelima (terakhir) adalah menambahkan lebih banyak kamar di bagian dalam dan penyempurnaan isian dinding. Bata-bata yang digunakan dalam fase ini, adalah bata-bata yang berukuran lebih kecil, dan lebih banyak lagi adonan yang digunakan.
Jadi pada fase pertama dan kedua telah terjadi perubahan fungsi dinding, yaitu semula sebagai tembok keliling menjadi tembok pertahanan dengan unsur-unsur Eropa. Transformasi ini mungkin terjadi pada tahun 1680, mungkin dengan batuan Cardeel.
Sesudah masa itu maka Surosowan oleh Belanda disebut sebagai “Fort Diamant”. Fase pertama termasuk penataan dinding paling luar, mungkin terjadi pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552 – 1570); Sejarah Banten menyebutkan bahwa pembangunan gerbang utara dan timur dilakukan oleh Maulana Yusuf, 1570 – 1580.
Surosowan, seperti posisi perbentengan lainnya di Banten Lama, dilengkapi dengan berbagai pucuk senjata arteleri. Penggunaan meriam telah mencatat sejarah yang panjang di Jawa Barat. Menurut da Barros, ketika orang Portugis pertama tiba di Jawa, meriam yang baik telah dibuat di daerah setempat. Catatan berikutnya dari orang Portugis, yang berasal dari abad ke-16 menyebutkan bahwa Banten pada salah satu sisinya memiliki kubu kayu yang sangat kuat yang dilengkapi dengan meriam.
Dari catatan orang Belanda yang tiba di Banten pada tahun 1596, diragukan penempatan meriam-meriam itu di setiap sudut perbentengan. Meriam-meriam itu ditempatkan tersebar di beberapa bagian kota sedangkan meriam-meriam yang berukuran lebih kecil dipasang di depan istana (Crucq, 1938: 363). Bagaimana pun meriam-meriam itu tidak dapat digunakan dengan baik, karena amunisinya diimpor dari Malaka ─ baru kemudian Inggris pun memasok amunisinya. Peluru-peluru meriam mulai dibuat di Banten tahun 1666.
Menurut catatan-catatan pelayaran tahun 1596, senjata orang-orang Jawa pada umumnya terdiri dari: tombak panjang, tameng kulit yang besar dan tipis, sumpitan panah kecil beracun, tetapi tanpa peluru. Sebaliknya mereka memiliki pedang kecil berlekuk yang mereka sebut dengan keris. Pada tahun 1837 didirikan perbentengan baru di sekeliling Banten untuk melawan serangan yang diduga dari Mataram, dan mungkin, sebuah meriam dipasang di depan gerbang selatan. Selama blokade VOC terhadap Banten pada tahun 1657 – 1658, Banten memasang deretan meriam-meriam pada kubu-kubu sepanjang pantai.
Menurut kebiasaan orang Jawa, setiap meriam memiliki nama khusus, seperti yang disebutkan dalam sejarah Banten. Setiap meriam berada di bawah pengawasan seorang pangeran/bangsawan. Seorang Belanda, Dirk van Lier pada tahun 1659 melaporkan bahwa Banten diperkuat dengan lima benteng pertahanan setinggi manusia, dan pada setiap kubu dilengkapi dengan 5 sampai 7 buah meriam.
Ia memperkirakan bahwa di Banten terdapat 250 meriam, setengahnya dibuat dari perunggu (mungkin usianya lebih tua), dan setengahnya lagi dibuat dari besi, yang mungkin ditambahkan pada awal abad ke-17.
Sebuah daftar meriam yang ditemukan di Banten pada tahun 1790, mungkin yang juga berada di istana pada tahun 1680, sebagai berikut: Di sudut timur laut diament atau pakuwonan, benteng dalam yang oleh Belanda disebut dengan flagpoint, yaitu:
  • Dua meriam kuningan yang dibuat di Inggris untuk John, First Lord Berkly of Stratton, Master of Ordonance pada tahun 1663. Meriam- meriam tersebut dibawa ke Tonkin (Vietnam Utara), kemudian di jual ke Banten seharga 10.000 real Spanyol dan tiba di Banten pada tahun 1680.
    • Meriam buatan Inggris yang lain dengan prasasti William Wightman, London 1678.
    • Satu meriam lokal mungkin dibuat di Kawiragunan.
    • Meriam Belanda dari kuningan, dibuat di Enkhuzen untuk cabang VOC di Amsterdam, 1623.
    • Meriam kuningan lain dibuat oleh Winghtman pada tahun 1677.
  • Sementara itu dari sudut tenggara yang disebut dengan Southpoint, yaitu:
  • Dua meriam kuningan lokal, dengan lima tanda pada larasnya
  • Satu meriam kuningan dengan tulisan Lamberts Amsterdam 1638.
  • Di sepanjang sisi timur terdapat meriam-meriam:
Dari alun-alun, di sebelah utara terdapat jembatan rantai, dengan jalan menuju ke rumah Pangeran Gebang (perwira komandan garnisun setempat), laksamana (panglima armada), dan para bangsawan. Keadaan tempat-tempat ini dijelaskan secara terinci oleh Willem Lodewyksz, salah satu peserta dalam pelayaran Belanda yang pertama ke Banten pada tahun 1596, menulis: “Setiap bangsawan memiliki 10 atau 12 orang pengawal untuk menjaga rumahnya sepanjang malam.
Ketika engkau memasuki rumah mereka, engkau pertama kali akan memasuki bagian yang disebut dengan pacebam (Paseban), dimana para bangsawan itu akan menerima engkau, dan paseban dimana pengawal itu ditempatkan; beratap buluh, atau daun kelapa tempat mana mereka menerima audiensi. Di salah satu sudut halaman mereka juga didirikan mesjid sendiri, tempat dimana mereka melakukan sembahyang tengah hari (Dhuhur), di sebelahnya terdapat sumur tempat mereka mencuci.
Lebih masuk ke dalam lagi, seseorang akan sampai pada pintu dengan jalan masuk yang sempit, yang diperkuat dengan beberapa gudang dan kapal, yang dijaga oleh beberapa budak untuk melindunginya, sehingga para bangsawan itu tidak dapat diserang oleh musuh-musuhnya pada malam hari.
Rumah-rumah mereka didirikan di atas 4,8 atau 10 tiang kayu, yang diukir indah sekali, beratap daun kelapa (palm) dan sisanya dibiarkan terbuka untuk mendapatkan kesejukan. Mereka tidak punya kamar lebih tinggi atau loteng dimana mereka dapat terbaring, tetapi hanya rumah penyimpanan, yaitu rumah bata yang tinggi dan tanpa jendela-jendela.”
Dalam penelitian arkeologi, melalui survey permukaan tanah dapat ditelusuri dan direkam gejala-gejala muka tanah di lokasi yang diamati untuk kemudian ditafsirkan bagaimana tata letak dan bentuk kota itu sesungguhnya; misalnya dengan membandingan beberapa kota di dunia Islam dan Asia Tenggara (khususnya Indonesia) pada periode-periode yang sama. Beberapa gejala arkeologi yang pokok seperti sisa-sisa bangunan kuno, dinding- dinding, jalan, pelabuhan, pasar dan kanal-kanal (yang ada di permukaan tanah) dapat ditelusuri dengan segera, tanpa melalui penggalian.
Dari peta-peta yang paling sederhana pun seperti skets secara cepat seseorang dapat mengetahui berbagai jenis sumber sejarah. Beberapa penulis telah menambah peta-peta skets atau peta-peta tua untuk melengkapi interpretasi mereka. Walaupun peta-peta skets dan ilustrasi tersebut dibuat secara impresif dan tanpa menggunakan alat atau skala, namun peta-peta itu dapat dijadikan panduan untuk melakukan pengamatan arkeologis dalam usaha untuk melihat ciri-ciri umum suatu situs.
Di sinilah letak peranan peta/skets untuk melengkapi penulisan yang deskriptif, dan dapat digunakan sebagai pembanding terhadap hasil fotografi ataupun gambar-gambar. Dan karena peta-peta skets tidak memiliki skala yang seragam, serta tidak memperlihatkan topografi, maka tidak dapat secara tepat digunakan untuk merancang bentuk-bentuk atau saling hubungan antara berbagai gejala arkeologis. Bagaimanapun peta-peta skets berguna untuk memperlihatkan rekaman-rekaman sementara, dan untuk menyempurnakannya perlu digunakan peta yang lebih akurat.
Dari analisis peta-peta kuno, kronologi Banten Lama dapat diamati sebagai berikut:
  • 1527 – 1570
Menurut kronik-kronik masa itu, sejak 8 Oktober 1526 kota dipindahkan dari Banten Girang ke Banten Lor (13 km ke arah selatan) pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Bangunan pertama yang didirikan oleh Maulana Hasanuddin dan dilanjutkan oleh Maulana Yusuf adalah dinding batas kota dengan dinding-dindingnya terbuat dari bata dan batu. Konfigurasi klasik dari masjid, keraton, lapangan, pasar, dan pelabuhan telah diwujudkan. Telaga Tasikardi pun telah dibangun oleh Maulana Yusuf.
  • 1570 – 1596
Kota Banten telah dikelilingi dinding batu, yang di bagian dalamnya terbagi dalam kampung-kampung berpagar. Telah dibuat sebuah kanal untuk mengalirkan air sungai Cibanten ke dalam kota. Selama periode ini, pertumbuhan kota masih terus berlanjut. Menurut Cornelis de Houtman, yang tiba di Banten tanggal 23 Juni 1596, kota tersebut besarnya seperti kota Amsterdam.
  • 1596 – 1659
Kota Banten bertumbuh terus, sehingga memerlukan perluasan kanal-kanal dan tembok-tembok keliling. Dinding kota menghadap ke arah laut, dan telah diperkuat dengan bastion-bastion serta kubu pertahanan. Lokasi pasar Karangantu terletak di sebelah timur muara sungai Cibanten dan telah diberi tembok keliling ─ tapi masih di luar dinding batas kota. Di sebelah barat didirikan perkampungan bertembok keliling yang diperuntukan bagi orang-orang asing. Menurut Cortemunde, di sebelah barat kota terdapat penginapan orang-orang Eropa dan kompleks orang-orang Cina. Di sana pun terdapat beberapa kanal, dinding kota, dan jalan yang kemudian dipindahkan.
  • 1659 – 1725
Setelah dua abad, pertumbuhan kota masih terus berlanjut; kanal-kanal telah ditambah, salah satu yang tertua di antaranya digunakan untuk perkampungan orang-orang asing (kota baru) dan di sebelah timurnya terdapat pasar yang juga berkembang. Perbentengan keliling sekarang telah disempurnakan. Meski pun tidak digambarkan di dalam peta Valentijn, Belanda telah mendirikan perbentengan yang kuat (Speelwijk) di sudut utara berhadapan dengan laut. Beberapa bagian tembok kota dan kanal telah dipindahkan.
  • 1725 – 1759
Perluasan jalan dan sistem kanal telah dibuat dengan menggali parit-parit di sekeliling keraton Surosowan dan perbentengan Belanda. Kanal yang dilintasi jembatan rante telah diluruskan ke arah timur sampai ke bagian selatan pasar Karangantu. Dari peta Heydt terdapat gambar proses perpindahan dan perubahan rencana kota yang meliputi aspek dan arsitektur, kanal-kanal, jalan-jalan, dan tembok-tembok kota.
Dengan menganalisa peta-peta kuno dan penginderaan jauh, kita dapat menelusuri perpindahan dan penafsiran kota lama Banten. Pada tahun 1750 terjadi pemberontakan terbesar di Banten. Di dalam perluasan bangunan-bangunan Belanda, menurut sejarah, tahun 1751 revolusi dapat ditindas. Situasi ini telah memperkokoh kedudukan kompeni Belanda dan menjadikan makin lemahnya Banten.
  • 1759 – 1902
Setelah kunjungan Stavorinus 1769, tidak terdapat sumber-sumber lain mencatat perkembangan kota Banten. Menurut Breughel, yang menulis catatan tentang Banten tahun 1787, terdapat beberapa gudang dan penjara, juga sebuah pendopo dengan sebuah platform setinggi 10 – 12 kaki memenuhi permukaan alun-alun. Bagian-bagian pemukiman penduduk asli kota itu tampak tidak terlalu banyak berubah, hanya ada beberapa rumah beratap genting pada masa itu.
Pada tahun 1795 cacah jiwa distrik Banten diperkirakan sebanyak 90.000 ─ cacah jiwa seluruh Jawa pada saat itu sekitar 3,5 juta orang. Di sana masih terdapat kampung Arab yang terletak di antara keraton Surosowan dan Karangantu, tetapi dikatakan pada waktu itu bahwa 4/5 rumah-rumah orang Cina sudah tidak dihuni.
Kekuatan ekonomi Batavia terlalu kuat, sehingga Banten menurut statusnya menjadi pemukiman propinsi (daerah). Peristiwa-peristiwa politik dan militer dalam perang Napoleon, pendudukan oleh Inggris, serta kembalinya pendudukan Belanda, menyebabkan pemukiman Banten perlahan-lahan menurun dan kedudukannya menjadi desa dan kemudian terbakar pada tahun 1808 – 1809. Kota Banten lenyap untuk selama-lamanya, hanya tercatat bahwa Kaibon sebagai keraton ─ didirikan pada tahun 1815 ─ untuk ibu Sultan Rafiuddin, yang kekuasaannya tidak berarti apa-apa.
  • 1902 – 1977
Situs sekarang dikenal sebagai Banten Lama (10 km di sebelah utara kota Serang). Banten kini tersisa sebagai runtuhan. Hanya sistem kanal, tembok-tembok keraton, keraton Kaibon, Speelwijk serta beberapa sarana pelabuhan serba kekurangan yang masih tersisa.
Menurut Serrurier, sebuah peta Banten Lama diterbitkan pada tahun 1902 itu telah dibuat pada tahun 1879, Serrurier seorang kurator koleksi Etnografi BG memperoleh peta tersebut dari Residen Banten pada tahun 1893.
Peta itu membagi Banten menjadi 33 kampung, dan terdapat tanda-tanda lahan lainnya. Peneliti Belanda (Brandes) menemukan peta yang “tidak dapat dipercaya”, tetapi menyetujui bahwa pemberian nama bagi beberapa kelompok pemukiman sangat berguna sebagai petunjuk kelompok-kelompok yang pernah menghuni berbagai perkampungan di Banten.
Banten dipugar dari tahun 1915 sampai 1930 oleh pemerintah Belanda, tetapi tidak mencatat setiap peralihan secara kronologis, khususnya kanal-kanal dan tembok-tembok kota. Restorasi dan pemeliharaan Banten Lama dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia dari tahun 1945 sampai sekarang. Masalah utama ialah bahwa beberapa runtuhan dan situs rusak berhamburan. Tetapi kita mencoba menyelesaikan dan merancang untuk mengembangkan situs ini sebagai “Taman Arkeologi di Banten Lama”.
  • 1977 – 1987
Suatu masterplan (rencana induk) Taman Arkeologi Banten telah dibuat dan mulai dilakukan restorasi. Perumusan hipotetik tata kota dari berbagai periode, mencari kesejajaran dengan beberapa kota lainnya dan memperbaikinya sebagai suatu informasi baru menjadi memungkinkan. Rencana ini dapat membantu mengidentifikasi area-area yang harus dipelihara secara terbuka. Situs ini, secara umum masih tetap terpelihara, dan beberapa dari sisa-sisa pondasi bangunan masih terpendam dalam tanah.
Menurut peta geologi, situs Banten Lama berketinggian sekitar 0 – 25 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan 2%. Di sebelah selatannya yaitu daerah Banten Girang, terdapat daerah perbukitan yang berketinggian antara 25 – 100 meter di atas permukaan laut.
Curah hujannya tertinggi setiap tahun sekitar 1840 mm, dan temperaturnya sekitar 26 – 27 derajat Celcius, dengan kelembaban sekitar 70%. Permukaan tanah daerah Banten Lama dan Tirtayasa (kira-kira 15 km ke arah timur) semakin rata, keduanya adalah zona alluvial (beting pantai, daerah luapan banjir dan sekitar aliran sungai). Sering kali terjadi banjir besar setelah hujan yang sangat deras.
Jenis lempung Banten Lama seperti kelabu alluvial, hidromorf, dan gleihumus. Proses pengubahan oleh air sungai berasal dari sedimentasi lempungan, sungai dangkal kurang 0.5 meter dalamnya, begitu pula air muka tanah begitu dangkal yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 – 3 meter, dan sungai berair sepanjang tahun. Hal itu membuat lumpur dari hulu yang terbawa sepanjang aliran sungai, setelah turun hujan lebat, akan membentuk tanah baru sepanjang tepi laut (disebabkan oleh pengendapan alami).

Sumber:
http://humaspdg.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar