Rabu, 06 Juli 2011

SEJARAH SUKU BADUY

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Asal Usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Kelompok Masyarakat Suku Baduy
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Baduy Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Struktur Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”. Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah “puun” yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
Mata Pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Interaksi Dengan Masyarakat Luar Baduy
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Sumber:
http://kampungsekolah.wordpress.com

PERAN KIYAI DAN JAWARA DI BANTEN

Semenjak pemerintahan kolonial Belanda menaklukan kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Karena itu masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama dan bersemangat memberontak. Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki cultur yang berbeda dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam daerah yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang terkenal sangat taat terhadap agama seperti daerah Banten sudah sewajarnya jika kiyai menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat. Kiyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat. Kekuasaannya sering kali melebihi kekuasaan pemimpin formal, terutama di pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan.
Kiyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang khas, seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah, merupakan simbol-simbol kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan seorang kiyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanipulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam.
Keunggulan dalam hal fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan supernatural (magic) telah melahirkan sosok seorang jawara dengan memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magik. Seperti halnya kiyai yang memiliki pesantren sebagai tempat para santri menimba ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula kepala jawara memiliki padepokan tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal.
Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong), sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu adalah murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan ataukanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara. Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah seorang kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya kiyai).
Istilah jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan ancaman, kekerasan dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan lahur” (tukang main perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta” (tukang main perempuan dan tamak harta).
———————————————————————-
Kesan yang kurang baik tentang jawara tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau menamakan dirinya jawara tetapi lebih senang disebut PENDEKAR.
———————————————————————-
Persepsi masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan cenderung negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori “ bandit sosial” di atas. Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan keberanian untuk melawan musuh bersama masyarakat yakni: pemerintah kolonial Belanda, mendapat penghargaan dan penghormatan di mata rakyat Banten. Karena itu jawara dianggap pahlawan oleh rakyat, sebagai pembela dan pelindung atas kepentinganya. Peran-peran itu yang telah ditampilkan secara baik oleh Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa silam. Namun setelah Indonesia bebas dari kolonialisme, musuh bersama rakyat itu tidak ada. Namun prilaku-prilaku jawara, seperti sompral, sombong, kurang taat dalam beragama, justru tidak berubah, sehingga menimbulkan antipati masayarakat terhadap jawara.
Tokoh-tokoh agama, kiyai, terutama dari pemimpin tarekat, selain dipandang sebagai orang yang mengerti tentang pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama juga dipandang sebagai sosok yang paling dekat pusat kekuatan supernatural, karena itu dipercayai memiliki kekuatan magis dan mistis, yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang kiyai akan semakin besar apabila ia selain memiliki kemampuan untuk memahami ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh masayarakat memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula, sehingga ia dianggap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang biasa. Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak memiliki keberanian. Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang demikian itu maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Juga karena keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di hadapan khalayak banyak.
Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Fakih Najamuddin untuk di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah kolonial yang terlalu besar. Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat. Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat pun yang selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu, setelah penghapusan jabatan Fakih Najamuddin diberikan kepada para kiyai. Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya.
Menurut masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang “terpelajar” dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat. Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang atau kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang memiliki pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya. Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubaligh. Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magic, satuan-satuan pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan zaman.
Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material) dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap berbagai prilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara walau dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah.

Sumber:
http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/11/peran-jawara-dan-kiyai-di-banten