Minggu, 19 Juni 2011

Pariwisata Banten

Bayangkan, dalam setiap tahunnya ada 1,3 milyar orang yang berlalulalang, berwisata ke manca negara. Berapa orang yang singgah di Indonesia? Data dari Organisasi Pariwisata Dunia mengungkapkan, hanya 4 juta orang, atau hanya sekitar 0,3 persen dari seluruh wisatawan manca negara (wisman) yang datang ke Indonesia. Sementara Malaysia dikunjungi 14,7 juta orang (1,1 persen) dan Thailand 15 juta orang (1,2 persen). Lantas, berapa orang wisman tersebut yang berkunjung ke Provinsi Banten ?
Wisman yang berkunjung ke Banten tahun 2006 ini, ternyata 150 ribu orang, dan itupun baru target dari Banten Community Tourism Board (BCTB). Lantas kenapa BCTB tidak mentargetkan kunjungan wisman 1 atau 2 juta orang, apakah Banten belum layak untuk menjadi daerah tujuan wisman yang utama. Ternyata Banten memiliki potensi wisata yang beragam dan berkelas dunia, tetapi pengelolannya masih belum profesional. Jangankan dapat bersaing dengan Malaysia, Thailand atau Singapura, dengan Bali atau Jogja pun masih jauh ketinggalan.
Potensi Terpendam
Banten memiliki beragam obyek wisata, mulai dari wisata bahari (Pantai Carita, Tanjung Lesung, Pulau Umang, Anyer), ekowisata (Ujung Kulon, Gunung dan Pulau Krakatau), wisata budaya (Baduy), wisata religi (Mesjin Agung) dan wisata belanja (Cilegon, Serpong).
Sumberdaya alam Banten memiliki daya tarik yang kuat, hal itu menyebabkan bangsa-bangsa Arab, India, Cina, Jepang, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda beberapa abad yang lalu mampir di Banten. Dengan demikian eksistensi Banten sebenarnya sudah sejak lama mendunia. Antara tahun 1525 – 1808, mulai dari masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (putra Sunan Gunungjati dari Cirebon) sampai masa Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai kerajaan yang banyak dikunjungi orang asing atau ‘wisman’. Pada saat itu Banten menjadi wilayah yang terbuka untuk bisnis internasional, sehingga banyak kantor dagang asing dibuka. Bahkan perkampungan Arab, India, Cina dan Jepang pun sudah ada. Lantas kenapa kemampuan ‘meng-global’ Banten beberapa abad yang lalu jauh lebih unggul dibandingkan sekarang ?
Ditinjau dari aspek sosial budaya, sejak beberapa abad yang lalu masyarakat Banten dikenal sangat terbuka. Sebagai dampak dari keterbukaannya Banten mencapai masa kejayaan, antara lain karena terjalin kerjasama yang harmonis antara pribumi dengan pendatang. Di sisi lainnya, Banten mengalami keterpurukan juga akibat keterbukaannya, terutama terhadap orang Belanda. Tahun 1808 Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Daendels meruntuhkan Keraton Surosowan di sekitar Banten Lama, mengakuisisi kerajaan dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Serang. Sejak saat itulah Banten mengalami keterpurukan di segala bidang, sampai akhirnya Banten berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai sebuah propinsi yang masih ‘kanak-kanak’ (6 tahun), Banten mencoba menggali nilai-nilai historis untuk dijadikan spirit kebangkitan, sehingga bisa sejajar dengan propinsi-propinsi yang paling maju.
Selain sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), potensi historis Banten ternyata masih terpendam. Padahal untuk pengembangan pariwisata, ketiganya perlu disinergikan melalui pengelolaan yang profesional.
Perlu Investasi
Partisipasi aktif pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dibidang pariwisata perlu lebih ditingkatkan lagi. Ketika sektor pertanian dan industri pertumbuhannya sudah stagnan, maka sektor pariwisata perlu mendapat perhatian serius. Kerjasama yang harmonis antara Pemda dengan pengelola industri pariwisata perlu lebih dikembangkan lagi, jangan sampai jalan sendiri-sendiri. Pemda jangan hanya sekedar mengejar pendapatan asli daerah (PAD), begitu pula pengelola industri pariwisata seperti pengelola hotel, restoran dan biro perjalanan wisata jangan hanya mengejar keuntungan sesaat.
Pariwisata seperti tanaman buah yang berumur panjang, untuk menghasilkan buah yang lebat dalam jangka waktu selama mungkin, maka perlu pemupukan, penyiraman, serta pengendalian hama dan penyakit. Begitu pula pariwisata, supaya ‘berbuah lebat’ selama mungkin, maka perlu investasi seperti bidang infrastruktur, pengembangan SDM dan promosi yang berkelanjutan.
Infrastruktur pendukung pariwisata seperti jalan, pelabuhan dan bandara perlu dipersiapkan secara serius. Kondisi jalan yang rusak seperti antara Cilegon dan Pantai Anyer, antara Pandeglang-Labuan-Panimbang-Tanjung Lesung dan Sumur akan menyurutkan minat calon wisatawan untuk mendatangi obyek wisata tersebut. Dengan demikian, target 150 ribu wisman, 1 juta wisnu (wisatawan nusantara) dan 2,5 juta wislok (wisatawan lokal) yang akan berkunjung ke berbagai obyek wisata di Banten sulit tercapai.
Pengembangan SDM pariwisata juga perlu digarap dengan sungguh-sungguh. Mengingat jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di Propinsi Banten masih tinggi, maka pemberdayaan SDM lokal perlu mendapat perhatian serius. Kenyataannya hampir semua obyek wisata terkemuka di Banten, untuk posisi strategis lebih banyak mempekerjakan pendatang. Jika dibiarkan berlarut-larut maka hal ini dapat memicu kecemburuan sosial, sehingga lingkungan sosial pariwisata menjadi tidak kondusif.
Untuk pengelola industri pariwisata ada baiknya kalau berinvestasi dalam pengembangan SDM lokal, seperti memberikan beasiswa bagi masyarakat yang berprestasi untuk mengambil pendidikan tinggi pariwisata, memberikan pelatihan-pelatihan dasar mengenai kepariwisataan. Dalam hal ini Banten ada baiknya meniru Bali dan Jogja, di mana industri pariwisata setempat banyak mengikutsertakan SDM lokal, sehingga nilai-nilai budaya lokal makin mewarnai aktivitas kepariwisataan. Memang saat ini merupakan era globalisasi, namun di balik arus globalisasi ada arus tribalisasi yang menguat, yaitu adanya kecenderungan minat terhadap hal-hal yang bersifat lokal makin menguat.
Perlu Promosi
Investasi dibidang promosi juga menjadi sangat penting, sebagus apapun obyek wisata dan seprofesional apapun pengelolaannya, tanpa promosi yang jitu maka industri pariwisata tidak akan berkembang. Dalam hal ini bisa belajar dari Malaysia, yang begitu gencar mempromosikan ‘kecanggihan’ pariwisatanya, baik melalui kedutaan besar, televisi, surat kabar dan internet. Begitu pula Singapura dan Australia, sangat ‘getol’ mempromosikan pariwisatanya di Indonesia. Maka tak heran jika wisman asal Indonesia yang melancong ke Malaysia hampir mencapai 800 ribu orang per tahun (data dari ‘The World Travel and Tourism Council’), beberapa ribu di antaranya adalah orang Banten.
Untuk pengembangan pariwisata tahun 2006, Pemerintah Provinsi Banten telah mengalokasikan anggaran Rp. 1,2 milyar untuk promosi. Anggaran tersebut relatif kecil jika memperhatikan target 150 ribu kunjungan Wisman, 1 juta Wisnu dan 2,5 juta Wislok, dengan target pemasukan 45 juta dollar`AS dari Wisman (dengan asumsi kunjungan rata-rata 2 hari) dan Rp 875 milyar dari Wisman dan Wislok (data dari BCTB). Untuk meningkatkan kegiatan promosi pariwisata, Pemda perlu menggandeng pengelola industri pariwisata, maka perlu ada interaksi yang positif antara Pemda Provinsi Banten, Pemkab (Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang), Pemkot (Cilegon, Tangerang), dengan Asita (Asosiasi Pariwisata), (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), dan pelaku pengelola industri pariwisata lainnya.
Negara-negara yang menjadi target promosi perlu diidentifikasi secara cermat. Beberapa negara seperti Singapura, Jepang dan Taiwan merupakan negara pengirim wisman terbesar ke Indonesia. Kalau anggaran memadai, cukup efektif jika dibuat iklan pariwisata yang ditayangkan di stasiun televisi yang ada di negara-negara tersebut. Mengacu pada nilai histori, tak ada salahnya jika mencoba mempromosikan pariwisata Banten di negara-negara Arab, Cina, India, Portugis, Spanyol dan Inggris, karena beberapa abad yang lalu Banten pernah memiliki ‘hubungan spesial’ dengan negara-negara tersebut, siapa tahu banyak warga negaranya yang berkeinginan menelusuri jejak nenek moyangnya.

Sumber:
http://wisata.kompasiana.com

Sejarah Mata Uang di Banten

Orang Banten, khususnya Serang menyebut Uang dengan kata Picis, sering kita mendengar mereka bilang “weh lagi ore due picis kien”atau “utang picis kuh..” dan sebagainya,  bukan tanpa sebab, berikut asal mula kata Picis berasal. 

Menurut Willem Lodewyksz, pada tahun 1596 ada tiga buah pasar yang ada di Banten berfungsi sebagai pusat perdagangan lokal dan perdagangan internasional yang sangat pesat. Di antara para pedagang asing yang datang di Banten ialah orang-orang Cina, menyusul pedagang Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis. Mereka membawa barang dagangan yang terdiri dari pakaian tenun yang biasa dibawa oleh pedagang Eropa lainnya (Tjandrasasmita, 1976:227).
Mata uang logam Cina yang pernah diketemukan de Houtman dan Kaizer adalah berupa uang tembaga yang disebut caixe, yang telah beredar di Banten (van Lischoten, 1910:78). Peranan mata uang picis, real dan uang chi’en yang terbuat dari tembaga, ternyata uang chi’en-lah yang lebih tinggi harganya di Banten, jika dibandingkan dengan mata uang lainnya (Rouffer, 1915:122).
Mata uang Cina sebagai mata uang asing masuk pertama kali di Banten yakni pada tahun 1590, saat mana raja Cina, Hammion, membuka kembali peredaran mata uang Cina di luar negeri setelah dua puluh tahun menutup kemungkinan karena khawatir akan adanya inflasi di negaranya.
Untuk memberikan gambaran nilai sebuah mata uang, kami uraikan sebagai berikut:
Harga uang picis dapat kita lihat dalam perbandingan:
  • 1 atak = 200 picis 1 bungkus = 10000 picis
  • 1 peku = 1000 picis 1 keti = 100000 picis.
Hal tersebut berarti bahwa saat itu uang picis adalah lebih rendah jika dibanding harga mata uang logam lainnya (van Ansooy, 1979:37). Sebagai contoh dalam menentukan harga dari seorang budak per hari dapat disewa dan harus setor pada majikannya sebesar 1000 picis (1 peku), berikut makan 200 picis. Harga makanan untuk orang Barat per hari menghabiskan rata-rata 1 atak (Fruin Mees, 1920:44).
Di Banten bagi seorang yang berani membunuh pencuri akan mendapat hadiah dari Sultan sebesar 8 peku (Keuning, 1938:888). Adapun harga seekor ayam di Mataram pada tahun 1625 rata-rata 1 peku (Macleod, 1927:289). Menurut orang Cina di Banten, dari hasil pembelian 8 karung lada dari pengunungan seharga 1 keti dan dijualnya ke pasar Karangantu seharga 4 keti, kejadian tersebut tercatat pada tahun 1596 (Commelin, 1646:76).
Harga pasaran tidak selalu stabil seperti yang diharapkan, permasalahannya ialah akibat nilai harga picis yang sulit untuk bertahan lama. Seperti terjadi pada tahun 1613, ada perubahan nilai pecco yang secara drastis terpaksa harus turun, tercatat 34 dan 35 peccoes = 1 real; ini berarti pula pengaruh uang asing yang masuk ke Banten dapat mempengaruhi stabilitas pasar di Karangantu saat itu.
Pada tahun 1618, J.P. Coen merasa tidak senang dengan turunnya nilai mata uang picis di Jawa, bahkan tercatat sejak tahun 1596 di Sumatra pun telah mengalami kemerosotan nilai tukar uang picis sampai dengan 1 : 8,500 (Mollema, 1935:211).
Rupanya percaturan politik ekonomi di Asia Tenggara, dari kehadiran beberapa mata uang di pasaran bebas, Banten memegang peranan penting dalam penentuan standar harga barang dan nilai mata uang pada saat itu, dengan bersandarnya beberapa perahu Cina yang bermuatan lada dari Jambi untuk di perjualbelikan di Banten (F. van Anrooy, 1979:40).
Variabilitas jenis mata uang yang beredar pada satu wilayah ekonomi, memperlihatkan sistem moneter dari administrasi politik yang bersangkutan. Nilai nominal yang terkandung pada mata uang (kertas, logam, atau lainnya), memberikan informasi mengenai satuan nilai mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, sedangkan pada logam, nilai intriksiknya adalah pada nilai logamnya (tembaga, timah, perak, suasa atau emas).
Kegunaan penemuan mata uang pada berbagai situs, secara arkeologis dapat membantu (1) kronologi situs, (2) jenis mata uang yang berlaku, (3) batas-batas peredaran mata uang yang dimaksud, serta (4) satuan nilai yang ditetapkan.
Di Banten, ditemukan 4 jenis mata uang logam, yakni mata uang logam Banten, Belanda, Inggris dan Cina. Mata uang Banten terdiri dari dua tipe, yakni (1) bertera tulisan Jawa, berlubang segi enam, diameter antara 2,10-3,10 cm, tebal 0,05-0,20 cm, diameter lubang 0,40-0,60 cm, dan terbuat dari perunggu, (2) bertera tulisan Arab, berbentuk bulat berlubang bulat, diameter 1,90-2,40 cm, tebal 0,05-0,16 cm, diameter lubang 0,60-1,20 cm, terbuat dari timah. Dari lubang-lubang ekskavasi di Surosowan, dapat dikumpulkan 242 keping uang Banten.
Mata uang Belanda di Banten ditemukan lebih bervariasi jenisnya (8 jenis) yang dapat dibedakan dari tahun terbitnya yang terletak di bawah monogram. Salah satu sisi mata uang berlambang propinsi- propinsi Belanda yang mengeluarkan mata uang masing-masing, kecuali sebuah di antaranya bertuliskan Java 1807. Sisi lain dari tiap mata uang biasanya berlambang VOC atau Nederl. Indie.
Mata uang Belanda di Banten berpenanggalan 1731 – 1816. Dari lubang- lubang ekskavasi di Surosowan diperoleh 164 keping mata uang logam Belanda/VOC (Widiyono, 1986: 335). Bentuk mata uang logam Inggris (EIC) hampir sama dengan bentuk mata uang logam Belanda/VOC, terutama dari ukuran dan bahan. Mata uang Inggris di Banten hanya ditemukan satu tipe dengan dua variasi.
Pada satu sisi berlambang perisai berbentuk hati terbagi dalam 4 bagian oleh garis menyilang, yang masing-masing bagian tersusun satu huruf yang keseluruhannya berbunyi VEIC. Sebuah pada sisi lainnya bertera tulisan Arab dan sebuah lagi bertera gambar timbangan. Dari lubang ekskavasi Surasowan ditemukan 6 keping mata uang Inggris.
Pada salah satu sisi mata uang Cina terdapat tulisan Cina yaitu: YUNG CHENG T’UNG PAO = Coinage of Stable Peace, yang berarti pembuatan mata uang untuk kestabilan dan perdamaian. Sedang pada tulisan sebaliknya diketahui sebagai huruf Manchu yang belum dapat dikenali artinya. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2,25-2,80 cm, tebal 0,10-0,18 cm dan diameter lubang 0,45-0,60 cm. Jenis ini ditemukan di lubang ekskavasi Surosowan sebanyak 25 keping.
Penelitian sebaran mata uang logam di Banten diarahkan pada ruang-ruang di dalam dan di luar benteng. Dari 437 keping mata uang logam yang ditemukan di eksekavasi, 92 ditemukan di luar benteng dan 345 dari dalam benteng Surosowan. Homogenitas ruang penelitian (hanya di sekitar Surosowan), serta jumlah koleksi hasil penelitian yang sangat tidak seimbang dengan aktivitas ekonomi Banten sebagai pusat politik, ekonomi dan perdagangan, berdampak pada terbatasnya lingkup penafsiran dari kehadiran mata uang logam sebagai data arkeologi di Banten.

Sumber:
http://humaspdg.wordpress.com

Seni Budaya Banten

B A H A S A
Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah di Banten bahasa penduduk yang pusat kekuasaan politiknya di Banten Girang, adalah bahasa Sunda. Sedangkan bahasa Jawa, dibawa oleh Syarif Hidayatullah, kemudian oleh puteranya, Hasanuddin, berbarengan dengan penyebaran agama Islam. Dalam kontak budaya yang terjadi, bahasa Sunda dan bahasa Jawa itu saling mempengaruhi yang pada gilirannya membentuk bahasa Jawa dengan dialek tersendiri dan bahasa Sunda juga dengan dialeknya sendiri.
Artinya, bahasa Jawa lepas dari induknya (Demak, Solo, dan Yogya) dan bahasa Sunda juga terputus dengan pengembangannya di Priangan sehingga membentuk bahasa sunda dengan dialeknya sendiri pula; kita lihat misalnya di daerah-daerah Tangerang, Carenang, Cikande, dan lain-lain, selain di Banten bagian Selatan.
Bahasa Jawa yang pada permulaan abad ke-17 mulai tumbuh dan berkembang di Banten, bahkan menjadi bahasa resmi keraton termasuk pada pusat-pusat pemerintahan di daerah-daerah. Sesungguhnya pengaruh keraton itulah yang telah menyebabkan bahasa Jawa dapat berkembang dengan pesat di daerah Banten Utara. Dengan demikian lambat laun pengaruh keraton telah membentuk masyarakat berbahasa Jawa. Pada akhirnya, bahasa Jawa Banten tetap berkembang meskipun keraton tiada lagi.
Bahasa Jawa dimaksud dalam pengungakapannya menggunakan tulisan Arab (Pegon) seperti ditemukan pada manuskript, babad, dan dokumen-dokumen tertentu. Penggunaan huruf Arab (Pegon) didorong oleh dan disebabkan karena:
  1. Penggunaan aksara lama terdesak oleh huruf Arab setelah Islamisasi.
  2. Huruf Arab menjadi sarana komunikasi kaum maju, sedangkan aksara menjadi alat komunikasi kaum elit/lama/feodal, ditambah pihak kolonial yang mengutamakan aksara (jawa). Kaum maju tersebut adalah masyarakat pemberontak, atau setidak-tidaknya tidak setuju dengan adanya penguasaan asing sehingga huruf Arab dipergunakan sebagai sarana lebih aman dan juga rahasia.
  3. Di lain pihak, terutama kaum lama, penggunaan huruf Pegon memberikan corak Islam dalam tulisan yang tidak selalu bersifat Islam, sehingga lebih aman beredar/mengisi permintaan rakyat.
Untuk mempermudah kajian dan penelitian isi, terutama masalah-masalah hukum, huruf Arab lalu disalin ke dalam tulisan (huruf) latin sebelum kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lain, terutama Belanda.
Bahasa Jawa dengan tulisan latin itu merupakan perkembangan kemudian karena pada aslinya menggunakan tulisan Arab. Demikian pula perkembangan perbendaharaan kata dipengaruhi oleh lingkungan bahasa Sunda, bahasa Arab, dan bahasa lain. Pada jaman penjajahan Belanda, ada juga pengaruh bahasa Belanda yang masuk ke dalam bahasa Jawa, misalnya sekola, yang semula ginau. Pada perkembangan sekarang, bahasa Jawa Banten ternyata juga dipengaruhi oleh bahasa Indonesia; mungkin demikian seterusnya, tetapi bahasa ini akan tetap ada sesuai dengan keberadaan pendukungnya.

SISTEM PENGETAHUAN
Pengetahuan manusia merupakan akumulasi dari tangkapannya terhadap nilai-nilai yang diacu dan dipahami, misalnya agama, kebiasaan, dan aturan-aturan. Pengetahuan manusia tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan elemen-elemen lain, dan karena itu maka disebut sistem pengetahuan. Salah satu (sistem) pengetahuan sebagai salah satu unsur kebudayaan Banten adalah misalnya pengetahuan tentang kosmologi (alam semesta). Pada fase perkembangan awal pengetahuan tentang kosmologi orang Banten adalah bahwa alam ini milik Gusti Pangeran yang dititipkan kepada Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi. Karena itu hierarchi Sultan adalah suci.
Gusti Pangeran itu mempunyai kekuatan yang luar biasa yang sebagian kecil dari kekuatannya itu diberikan kepada manusia melalui pendekatan diri. Yang mengetahui formula-formula pendekatan diri untuk memperoleh kekuatan itu adalah para Sultan dan para Wali, karena itu Sultan dan para Wali itu sakti. Kesaktian Sultan dan para wali itu dapat disebarkan kepada keturunan dan kepada siapa saja yang berguru (mengabdi).
Pengetahuan yang berakar pada kosmologi tersebut masih ada sampai kini sehingga teridentifikasi dalam pengetahuan magis. Mungkin dalam perkembangan kelak tidak bisa diprediksi menjadi hilang, bahkan mungkin menjadi alternartif bersama-sama dengan (sistem) pengetahuan yang lain.

ORGANISASI SOSIAL
Yang dimaksud dengan organisasi sosial adalah suatu sistem dimana manusia sebagai mahluk sosial berinteraksi. Adanya organisasi sosial itu karena ada ketundukan terhadap pranata sosial yang diartikan oleh Suparlan sebagai seperangkat aturan-aturan yang berkenaan dengan kedudukan dan penggolongan dalam suatu struktur yang mencakup suatu satuan kehidupan sosial, dan mengatur peranan serta berbagai hubungan kedudukan, dan peranan dalam tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Di antara bentuk organisasi sosial di Banten adalah stratifikasi sosial. Pada awal di jaman Kesultanan, lapisan atas dalam stratifikasi sosial adalah pada Sultan dan keluarganya/keturunannya sebagai lapisan bangsawan. Kemudian para pejabat kesultanan, dan akhirnya rakyat biasa. Pada perkembangan selanjutnya, hilangnya kesultanan, yang sebagian peranannya beralih pada Kiyai (kaum spiritual), dalam stratifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan atas. Jika peranan itu berpindah kepada kelompok lain, maka berpindah pulalah lapisan itu.

SISTEM RELIGI
Yang dimaksud dengan sistem religi adalah hubungan antar elemen-elemen dalam upacara agama. Agama Islam sebagai agama resmi keraton dan keseluruhan wilayah kesultanan, dalam upacara-upacaranya mempunyai sistem sendiri, yang meliputi peralatan upacara, pelaku upacara, dan jalannya upacara. Misalnya dalam Salat, ada peralatan-peralatannya dari sejak mesjid, bedug, tongtong, menara, mimbar, mihrab, padasan (pekulen), dan lain-lain. Demikian pula ada pelakunya, dari sejak Imam, makmum, tukang Adzan, berbusana, dan lain-lain; sampai kemudian tata cara upacaranya.
Di jaman kesultanan, Imam sebagai pemimpin Salat itu adalah Sultan sendiri yang pada transformasinya kemudian diserahkan kepada Kadi. Pada perubahan dengan tidak ada sultan, maka upacara agama berpindah kepemimpinannya kepada kiyai. Perkembangan selanjutnya bisa jadi berubah karena transformasi peranan yang terjadi.

SISTEM PERALATAN HIDUP DAN TEKNOLOGI
Kehidupan masyarakat memang memerlukan peralatan dan teknologi. Memperhatikan paralatan hidup dan teknologi dalam kebudayaan Banten, dapat diperoleh informasinya dari peninggalan masa lalu. Salah satu diantaranya misalnya relief, penemuan benda-benda arkeologis, dan catatan-catatan masa lalu. Di jaman kesultanan, kehidupan masyarakat ditandai dengan bertani, berdagang, dan berlayar termasuk nelayan. Dari corak kehidupan ini terlihat bahwa peralatan hidup bagi petani masih terbatas pada alat-alat gali dan lain-lain termasuk pemanfaatan hewan sebagai sumber energi.
Angkutan dan teknologi pelayaran masih memanfaatkan energi angin yang karenanya berkembang pengetahuan ramalan cuaca secara tradisional, misalnya dengan memanfaatkan tanda-tanda alam. Demikian pula teknik pengolahan logam, pembuatan bejana, dan lain-lain, memanfaatkan energi alam dan manusia. Tentu saja aspek (unsur kebudayaan) ini secara struktural mengalami perubahan pada kini dan nanti, meski secara fungsional mungkin tetap.

SISTEM MATA PENCAHARIAN HIDUP
Gambaran perkembangan mengenai hal ini untuk sejarah manusia, akan tersentuh dengan kehidupan primitif, dari hidup berburu sampai bercocok tanam. Hubungannya dengan kebudayaan Banten, sistem mata pencaharian hidup sebagai salah satu unsur kebudayaan, terlihat dari jaman kesultanan. Mata pencaharian hidup dari hasil bumi menampilkan adanya pertanian. Dalam sistem pertanian itu ada tradisi yang masih nampak, misalnya hubungan antara pemilik tanaman (petani) dan orang-orang yang berhak ikut mengetam dengan pembagian tertentu menurut tradisi.
Dalam nelayan misalnya ada sistem simbiosis antara juragan dan pengikut-pengikutnya dalam usaha payang misalnya. Kedua belah pihak dalam mata pencaharian hidup itu terjalin secara tradisional dalam sistem mata pencaharian. Mungkin pula hubungan itu menjadi hubungan kekerabatan atau hubungan Patron-Clien.
Pada masa kini kemungkinan sistem tersebut sudah berubah, disamping karena perubahan mata pencaharian hidup, juga berubah dalam sistemnya karena penemuan peralatan (teknologi) baru. Demikian pula kemungkinan di masa yang akan datang.

K E S E N I A N
Kesenian adalah keahlian dan keterampilan manusia untuk menciptakan dan melahirkan hal-hal yang bernilai indah. Ukuran keindahannya tergantung pada kebudayaan setempat, karena kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan. Dari segi macam-macamnya, kesenian itu terdapat banyak macamnya, dari yang bersumber pada keindahan suara dan pandangan sampai pada perasaan, bahkan mungkin menyentuh spiritual.
Ada tanda-tanda kesenian Banten itu merupakan kesenian peninggalan sebelum Islam dan dipadu atau diwarnai dengan agama Islam. Misalnya arsitektur mesjid dengan tiga tingkat sebagai simbolisasi Iman, Islam, Ihsan, atau Syari’at, tharekat, hakekat. Arsitektur seperti ini berlaku di seluruh masjid di Banten. Kemudian ada kecenderungan berubah menjadi bentuk kubah, dan mungkin pada bentuk apa lagi, tapi yang nampak ada kecenderungan lepas dari simbolisasi agama melainkan pada seni itu sendiri.
Arsitektur rumah adat yang mengandung filosofi kehidupan keluarga, aturan tabu, dan nilai-nilai privasi, yang dituangkan dalam bentuk ruangan paralel dengan atap panggung, dan tiang-tiang penyanggah tertentu. Filosofi itu telah berubah menjadi keindahan fisik sehingga arsitekturnya hanya bermakna estetik.
Mengenai kesenian lain, ada pula yang teridentifikasi kesenian lama (dulu) yang belum berubah, kecuali mungkin kemasannya. Kesenian-kesenian dimaksud ialah:
  1. Seni Debus Surosowan
  2. Seni Debus Pusaka Banten
  3. Seni Rudat
  4. Seni Terbang Gede
  5. Seni Patingtung
  6. Seni Wayang Golek
  7. Seni Saman
  8. Seni Sulap-Kebatinan
  9. Seni Angklung Buhun
  10. Seni Beluk
  11. Seni Wawacan Syekh
  12. Seni Mawalan
  13. Seni Kasidahan
  14. Seni Gambus
  15. Seni Reog
  16. Seni Calung
  17. Seni Marhaban
  18. Seni Dzikir Mulud
  19. Seni Terbang Genjring
  20. Seni Bendrong Lesung
  21. Seni Gacle
  22. Seni Buka Pintu
  23. Seni Wayang Kulit
  24. Seni Tari Wewe
  25. Seni Adu Bedug
  26. Dan lain-lain
Kesenian-kesenian tersebut masih tetap ada, mungkin belum berubah kecuali kemasan-kemasannya, misalnya pada kesenian kasidah dan gambus. Relevansi kesenian tradisional ini mungkin, jika berkenaan dengan obyek kajian penelitian maka yang diperlukan adalah orsinilitasnya. Tetapi jika untuk kepentingan pariwisata maka perlu kemasan yang menarik tanpa menghilangkan substansinya.
Walaupun mungkin, secara umum kesenian-kesenian tersebut akan tunduk pada hukum perubahan sehubungan dengan pengaruh kebudayaan lain. Mungkin karena tidak diminati yang artinya tidak ada pendukung pada kesenian itu, bisa jadi lama atau tidak, akan punah. Karena itu, mengenai kesenian yang tidak boleh lepas dari nilai-nilai Kebudayaan Banten, bisa jadi atau malah harus ada perubahan kemasan.

Perkembangan Kesultanan Banten

Sebagaimana layaknya sebuah kota Islam, Banten Lama juga memiliki beberapa ciri yang secara umum ditemukan pada kota-kota Islam yang sejaman di beberapa bagian dunia. Pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan yang terpenting (sebagaimana masyarakat muslim di Indonesia, Afrika, dan negara-negara Arab) kota Islam memiliki ciri dengan adanya istana, pasar-pasar dan masjid-masjid.
Pemukiman dibagi menurut pekerjaan dan etnik, sebagaimana kota-kota Islam di dunia pada abad pertengahan dan akhir. Bahkan dapat dikatakan bahwa kota Banten adalah kota muslim terbesar di Indonesia, tidak saja pada awalnya, tetapi mungkin dalam seluruh sejarahnya.
Jika muncul kota-kota di Jawa berkoinsidensi dengan penyebaran Islam, kemudian unsur-unsur komponen kota muncul sebagaimana di banyak kota dalam dunia Islam, seseorang mungkin dapat menduga bahwa pola-pola pemukiman di dalam kota-kota itu tentunya merupakan turunan dari bentuk baku kota-kota Islam. Informasi sejarah telah menunjukkan bahwa asumsi demikian tidaklah selalu benar. Distribusi fisik berupa bangunan bagi kepentingan umum dan perseorangan di beberapa kerajaan di Jawa, lebih banyak melanjutkan tata letak tradisional Jawa pada masa sebelum Islam.
Jawa dapat dikatakan telah memiliki pola tersendiri di dalam urbanisasi, dengan beberapa unsur yang serupa dengan kota-kota yang sejaman pada bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Dalam penyebarannya Islam bukanlah merupakan hasil suatu perubahan yang revolusioner di dalam tata cara hidup orang Jawa, tetapi lebih tepat sebagai hasil proses evolusi secara bertahap. Berbeda halnya dengan kota Banten. Kota yang satu ini merupakan kota baru yang dibangun dari suatu daerah sepi penduduk dan sedikitnya bangunan asal. Kota yang dilandasi pembangunannya oleh motivasi islamisasi ini dibuat (mungkin sedikit) berbeda dengan tradisi yang hidup di masyarakat, walaupun akhirnya memanfaatkan tradisi itu untuk menguatkan keberadaan kerajaan dan Islam.
Dari sumber-sumber sejarah, kita tidak mungkin merekontruksikan tingkat-tingkat pertumbuhan sebuah kota secara rinci. Begitu penelitian arkeologi diselengarakan, bagaimanapun kita lebih banyak memperoleh informasi mengenai hubungan-hubungan antara perubahan keagamaan dengan perubahan aspek-aspek budaya yang lainnya. Ketika pada tahun 1596, di kota Banten, pemukiman dan kehidupan penduduknya telah mengalami berbagai perubahan.
Gambaran pertama yang terlihat pada penduduk kota ialah bahwa ia telah diresapi agama Islam, tetapi alam kota dimana mereka tinggal, masih menunjukkan gejala yang berasal dari masa yang lebih tua, dan mungkin lebih merupakan setting suatu pedalaman agraris yang sangat berbeda dengan pusat komersial yang sibuk di tepi jalur pelayaran internasional.
Seperti halnya kota-kota di Eropa, Banten Lama juga dikelilingi oleh berbagai tembok kota, yang dimensinya tidak terlalu jelas, dan dibuat dari bata.
Dinding batas kota tersebut jelas digunakan sebagai pertahanan; di bagian atas ditempatkan meriam, dan di beberapa bagian didirikan menara pengawas (pengintai). Untuk memasuki kota, seseorang harus melalui pintu-pintu gerbang di beberapa bagian. Pintu-pintu tersebut (yang dikatakan sangat sulit (karena besar dan beratnya) dijaga ketat dan sulit didekati tanpa teramati oleh para penjaga.
Terdapat tiga buah pintu gerbang untuk masuk ke dalam kota Banten, yaitu: satu di selatan, satu di barat yang disebut sebagai pintu (gerbang ?) gunung yang yang berhadapan dengan Gunung Gede, dan satu lagi di utara yang disebut sebagai pintu air. Pembuatan tembok kota dilanjutkan ketika akan terjadi serangan dari Mataram pada tahun 1598, tetapi ketika ancaman menyurut, tembok-tembok tersebut terabaikan, dan akhirnya mulai runtuh.
Setelah Maulana Hasanuddin mengalahkan Banten, secara cepat Banten menjadi pelabuhan utama di Jawa Barat menggantikan kedudukan pelabuhan Sunda Kelapa. Pada abad ke-16 Banten berada di atas pelabuhan-pelabuhan lain dalam menguasai pasar di sepanjang pantai utara Jawa. Pada tahun 1596, Banten merupakan pelabuhan terbesar dan paling menguntungkan dibanding dengan pelabuhan lainnya. Sayangnya, keterangan yang memaparkan tentang keadaan sepanjang 70 tahun di awal perkembangannya sangatlah sedikit.
Banten tumbuh sebagai ibu kota Islam sampai datangnya kapal pertama dari Eropa di pelabuhan Banten. Penulis catatan dari Portugis, da Couto, dalam sebuah sumber yang mungkin berasal dari masa sebelum tahun 1570, menerangkan bahwa ukuran kota Banten: panjangnya 850 pal, dan lebar sampai ke pantai 400 pal.
Jalan dari pedalaman ke dalam kota nampak semakin melebar. Perahu-perahu dapat berlayar sampai ke pusat kota melalui kanal-kanal yang terdapat di sekelilingnya. Pada salah satu sisi pemukiman terdapat benteng bata setebal tujuh lapis dan juga terdapat perbentengan kayu, yang dilengkapi dengan senjata.
Banten Lama boleh jadi merupakan kota terbesar di pantai utara Jawa (dan juga mungkin terbesar di seluruh Indonesia) pada tahun 1596; De Houtman memperkirakan bahwa luas Banten Lama mungkin sama dengan kota Amsterdam, kota tempat pelayarannya dimulai. Banten memiliki sejumlah ciri pokok sebagaimana pelabuhan besar lainnya di Jawa pada kurun waktu yang sama.
Deskripsi tertua yang cukup terinci tentang Banten ditulis oleh pendatang pertama dari Belanda dan Inggris yang tiba di Banten pada tahun 1596. Mungkin masih ada arsip-arsip di Portugal yang berisi naskah-naskah yang berusia lebih tua, tetapi jika pun ada tetap belum terungkapkan.
Gambaran pertama tentang kota Banten, baru diketahui setelah menjadi kota muslim selama 70 tahun. Kota Banten tumbuh dari pelabuhan nomor dua di kerajaan Pajajaran menjadi pusat kota internasional yang utama, dimana pedagang-pedagang asing membentuk diri sebagai bagian penduduk yang penting, dan selanjutnya muncullah pemukiman-pemukiman khusus.
Pada abad ke-15 beberapa musafir Cina memperkirakan populasi beberapa pelabuhan di Jawa; ini merupakan sumber tertua yang berisi informasi mengenai kependudukan. Perkiraan orang Cina untuk beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa seperti Tuban dan Gresik, sekitar tahun 1430, hanyalah sekitar 5000 jiwa.
Di dalam tembok kota Banten terdapat tiga jalan, tetapi jalan-jalan tersebut tidak dikeraskan sehingga sangat becek (berlumpur). Bagaimanapun seluruh bagian kota dapat dilalui perahu yang dilengkapi dengan sarana-sarana transportasi yang efisien bagi penduduk dan barang.
Sistem transportasi dalam kota dihubungkan dengan dua sungai, baik yang mengalir dari sebelah timur maupun barat kota. Jalan masuk menuju jaringan transportasi air di dalam kota ini juga diawasi (dikendalikan) dengan perintang-perintang bambu, yang bila malam hari direndahkan (diturunkan).
Di sana terdapat beberapa jembatan, misalnya terdapat di Karangantu, di sebelah timur kota, dan di dekat Mesjid Agung yang disebut dengan Jembatan Rantai, yang ujung-ujungnya diberati dengan batu. Sistem penyeberangan sungai dengan perahu tambang juga ada, tetapi dilarang dilakukan pada malam hari, untuk alasan keamanan.
Banten bukanlah satu-satunya kota yang memiliki lingkar benteng pertahanan. Cirebon, Demak dan Tuban juga memiliki tembok kota dari bata, pada tahun 1596. Sementara itu kota-kota pelabuhan yang lain seperti, Jayakarta, Jepara, dan Blambangan juga memiliki tembok pertahanan dari bambu atau kayu.
Di pusat kota terdapat sebuah bangunan besar tempat kediaman raja Banten yang disebut istana Surosowan. Di depan istana, di sebelah utara, itu terdapat lapangan terbuka yang berukuran luas yang disebut dengan alun-alun. Sejumlah kegiatan diselenggarakan di alun-alun, termasuk di antaranya kegiatan pertemuan dewan kerajaan, sidang pengadilan dan beberapa kegiatan (peragaan) publik lainnya. Di pagi hari, alun-alun juga digunakan untuk penyelenggaraan pasar.
Bangunan datar yang ditinggikan dan beratap didirikan di dekat istana, digunakan oleh raja untuk bertatap muka atau untuk tempat menunggu raja, yang disebut dengan srimanganti. Di sebelah barat didirikan mesjid utama. Kediaman para syahbandar menempati sisi timur alun-alun, sedangkan di tepi utara dibatasi oleh sebuah sungai.
Di sudut timur laut alun-alun di atas tepi sungai, ditempati bangunan beratap untuk melindungi beberapa parahu perang, beberapa fusta dan beberapa perahu besar lainnya. Sebuah sumber dari tahun 1680 menyebutkan bahwa sultan Agung memiliki 25 kapal yang digerakkan dengan dayung. Gajah milik raja juga ditempatkan di dekat penambatan kapal-kapal itu.
Nama lain bagi Surosowan, mungkin lebih awal, yaitu Kedaton Pakuwuhan. Tempat tinggal raja yang pertama di Banten mungkin didirikan di dekat Karangantu, tetapi antara tahun 1552 dan 1570, pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, barulah dimulai pembangunan istana di situs istana di Banten. Penerbitan keterangan tertua dibuat oleh Verhaghen, yang didasarkan pada kunjungannya bulan Maret 1600. Begitu ia mendekati istana dan memasuki pintu gerbang pertama, terlihat beberapa rumah rendah yang diapit oleh dua rumah jaga tempat tentara-tentara ditugaskan.
Di dekatnya terdapat gudang persenjataan, kemudian ruangan yang disediakan bagi para pengrajin. Beberapa di antara mereka mungkin adalah pengrajin emas, suatu pekerjaan biasa yang dikuasai oleh para penguasa Indonesia. Istana di Aceh dikatakan telah menggunakan 300 pekerja.
Air raksa dijual oleh orang-orang Cina di pasar, boleh jadi telah digunakan dalam kaitannya memperindah melalui teknik mencampur emas dengan air raksa; cairan emas dan air raksa kemudian dituang untuk melepaskan unsur-unsur yang tidak murni. Melalui pemanasan yang tinggi maka unsur air raksa akan menguap, yang tersisa kemudian hanyalah emas.
Verhaghen kemudian berjalan melalui pintu gerbang kedua, yang diukir indah sekali, diapit oleh dua rumah sederhana yang diperuntukkan bagi pelayan-pelayan gubernur, dan kemudian sampai di lapangan luas (alun-alun) dan mesjid kerajaan. Pada sisi kiri terdapat rumah jaga lainnya dengan pengawal.
Antara rumah jaga dan jalan masuk ke istana, terdapat portal yang diukir; dan melalui tempat ini, seseorang dapat melihat sebuah kolam kecil dan sebuah balai atau paviliun di atas tiang (rumah panggung) dimana ditebarkan tikar-tikar yang dianyam indah sekali.
Dinding pagar Surosowan tingginya sekitar 2 meter, lebar 5 meter, panjang pada bagian timur barat 300 meter, sedangkan pada bagian utara selatan 100 meter, Jadi luas daerah yang dibentengi sekitar 3 hektar. Di sudut-sudut terdapat bastion-bastion yang berbentuk intan, dan di tengah dinding utara dan selatan berbentuk proyeksi setengah lingkaran. Perbentengan ini terbuat dari bata dengan tipe-tipe yang berbeda, menurut ukuran bahan dan teknik pembuatannya.
Beberapa tipe adonan juga digunakan, termasuk tanah liat, campuran pasir dan kapur. Dingding tersebut tidak kokoh, tetapi diisi tanah. Pada dinding bagian utara disediakan ruangan untuk kamar-kamar. Pada bagian luar dinding telah diperkuat bagian dalamnya untuk mencegah roboh ke arah dalam, yang nampaknya semula direncanakan berdiri sendiri.
Istana ini hancur oleh kebakaran pada bulan Desember 1605, dan pada tanggal 16 Juni 1607 terbakar habis, yang menurut pernyataan Saris, kepala perwakilan Inggris di Banten, kebakaran tersebut sama sekali tidak dapat diterima akal. Istana kemudian dibangun di tempat yang sama.
Pada tahun 1661 dihiasi beberapa pohon. Sekitar tahun 1680, Sultan Haji membangun benteng di sekitar istana untuk menangkis serangan dari Sultan Ageng, ayahnya. Karena serangan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682, seluruh kota rusak akibat kebakaran, dan Sultan Haji terkurung di dalam benteng sampai ia dibebaskan oleh tentara Belanda. Cardeel, seorang penghianat Belanda dan tukang batu, membantu pembangunan perbentengan Surosowan.
Menurut Stavorinus, pada tahun 1769 sebuah prasasti dalam bahasa Belanda dapat dilihat di atas portal utama: “Ini didirikan oleh Hendrik Laurentsz yang lahir di Steenwijk”. Penelitian terhadap arsitektur perbentengan, bagaimana pun berkesimpulan bahwa perbentengan tersebut jelas dibangun secara bertahap, bukan satu tahap seperti yang ditulis oleh Cardeel.
Pada mulanya terdapat tiga gerbang, di utara, timur dan selatan. Beberapa kali terjadi gerbang selatan itu ditutup. Gerbang utama di sebelah utara, berhadapan dengan alun-alun, sedangkan gerbang di sebelah timur dibuat dalam bentuk lengkung, dimaksudkan untuk mencegah tembakan langsung pada portal bila pintu gerbang dibuka.
Tiap tahap pembangunan dinding ini dapat diamati pada gerbang bagian utara, yang secara relatif masih terpelihara dengan baik pada fase pertama; pada fase kedua, dinding ini dipotong; dan pada pembangunan fase ketiga, kembali dinding ditutup dengan batu karang. Gerbang di sebelah timur telah runtuh tapi agaknya mengalami modifikasi serupa.
Dinding yang asli mungkin adalah tembok keliling dari istana, untuk melindungi para penghuninya dari pandangan kelas lebih bawah, dari pada dalam fungsinya untuk menjaga serangan. Selama pembangunan pertama lebarnya tidak lebih dari pada 100 – 125 meter, tanpa bastion, dibangun dari susunan bata berukuran besar yang dicampur dengan adonan tanah liat (lempung).
Pada masa pembangunan tahap kedua, didirikan dinding bagian dalam, dan bastion pun ditambahkan. Dinding ini merupakan penahan api/kebakaran. Pembangunan ini kemudian diikuti pembangunan fase ketiga, yaitu pendirian kamar-kamar di sepanjang dinding utara, penambahan lantai untuk mencapai dinding penahan api (parapet), gerbang utara diperbaharui, gerbang selatan disisipi tetapi kemudian ditutup kembali.
Pada pembangunan fase keempat, dikembangkan pengubahan lainnya pada gerbang utara dan mungkin pada gerbang timur, dan dinding bata ditutupi secara merata dengan karang pada bagian luarnya. Pembangunan yang kelima (terakhir) adalah menambahkan lebih banyak kamar di bagian dalam dan penyempurnaan isian dinding. Bata-bata yang digunakan dalam fase ini, adalah bata-bata yang berukuran lebih kecil, dan lebih banyak lagi adonan yang digunakan.
Jadi pada fase pertama dan kedua telah terjadi perubahan fungsi dinding, yaitu semula sebagai tembok keliling menjadi tembok pertahanan dengan unsur-unsur Eropa. Transformasi ini mungkin terjadi pada tahun 1680, mungkin dengan batuan Cardeel.
Sesudah masa itu maka Surosowan oleh Belanda disebut sebagai “Fort Diamant”. Fase pertama termasuk penataan dinding paling luar, mungkin terjadi pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552 – 1570); Sejarah Banten menyebutkan bahwa pembangunan gerbang utara dan timur dilakukan oleh Maulana Yusuf, 1570 – 1580.
Surosowan, seperti posisi perbentengan lainnya di Banten Lama, dilengkapi dengan berbagai pucuk senjata arteleri. Penggunaan meriam telah mencatat sejarah yang panjang di Jawa Barat. Menurut da Barros, ketika orang Portugis pertama tiba di Jawa, meriam yang baik telah dibuat di daerah setempat. Catatan berikutnya dari orang Portugis, yang berasal dari abad ke-16 menyebutkan bahwa Banten pada salah satu sisinya memiliki kubu kayu yang sangat kuat yang dilengkapi dengan meriam.
Dari catatan orang Belanda yang tiba di Banten pada tahun 1596, diragukan penempatan meriam-meriam itu di setiap sudut perbentengan. Meriam-meriam itu ditempatkan tersebar di beberapa bagian kota sedangkan meriam-meriam yang berukuran lebih kecil dipasang di depan istana (Crucq, 1938: 363). Bagaimana pun meriam-meriam itu tidak dapat digunakan dengan baik, karena amunisinya diimpor dari Malaka ─ baru kemudian Inggris pun memasok amunisinya. Peluru-peluru meriam mulai dibuat di Banten tahun 1666.
Menurut catatan-catatan pelayaran tahun 1596, senjata orang-orang Jawa pada umumnya terdiri dari: tombak panjang, tameng kulit yang besar dan tipis, sumpitan panah kecil beracun, tetapi tanpa peluru. Sebaliknya mereka memiliki pedang kecil berlekuk yang mereka sebut dengan keris. Pada tahun 1837 didirikan perbentengan baru di sekeliling Banten untuk melawan serangan yang diduga dari Mataram, dan mungkin, sebuah meriam dipasang di depan gerbang selatan. Selama blokade VOC terhadap Banten pada tahun 1657 – 1658, Banten memasang deretan meriam-meriam pada kubu-kubu sepanjang pantai.
Menurut kebiasaan orang Jawa, setiap meriam memiliki nama khusus, seperti yang disebutkan dalam sejarah Banten. Setiap meriam berada di bawah pengawasan seorang pangeran/bangsawan. Seorang Belanda, Dirk van Lier pada tahun 1659 melaporkan bahwa Banten diperkuat dengan lima benteng pertahanan setinggi manusia, dan pada setiap kubu dilengkapi dengan 5 sampai 7 buah meriam.
Ia memperkirakan bahwa di Banten terdapat 250 meriam, setengahnya dibuat dari perunggu (mungkin usianya lebih tua), dan setengahnya lagi dibuat dari besi, yang mungkin ditambahkan pada awal abad ke-17.
Sebuah daftar meriam yang ditemukan di Banten pada tahun 1790, mungkin yang juga berada di istana pada tahun 1680, sebagai berikut: Di sudut timur laut diament atau pakuwonan, benteng dalam yang oleh Belanda disebut dengan flagpoint, yaitu:
  • Dua meriam kuningan yang dibuat di Inggris untuk John, First Lord Berkly of Stratton, Master of Ordonance pada tahun 1663. Meriam- meriam tersebut dibawa ke Tonkin (Vietnam Utara), kemudian di jual ke Banten seharga 10.000 real Spanyol dan tiba di Banten pada tahun 1680.
    • Meriam buatan Inggris yang lain dengan prasasti William Wightman, London 1678.
    • Satu meriam lokal mungkin dibuat di Kawiragunan.
    • Meriam Belanda dari kuningan, dibuat di Enkhuzen untuk cabang VOC di Amsterdam, 1623.
    • Meriam kuningan lain dibuat oleh Winghtman pada tahun 1677.
  • Sementara itu dari sudut tenggara yang disebut dengan Southpoint, yaitu:
  • Dua meriam kuningan lokal, dengan lima tanda pada larasnya
  • Satu meriam kuningan dengan tulisan Lamberts Amsterdam 1638.
  • Di sepanjang sisi timur terdapat meriam-meriam:
Dari alun-alun, di sebelah utara terdapat jembatan rantai, dengan jalan menuju ke rumah Pangeran Gebang (perwira komandan garnisun setempat), laksamana (panglima armada), dan para bangsawan. Keadaan tempat-tempat ini dijelaskan secara terinci oleh Willem Lodewyksz, salah satu peserta dalam pelayaran Belanda yang pertama ke Banten pada tahun 1596, menulis: “Setiap bangsawan memiliki 10 atau 12 orang pengawal untuk menjaga rumahnya sepanjang malam.
Ketika engkau memasuki rumah mereka, engkau pertama kali akan memasuki bagian yang disebut dengan pacebam (Paseban), dimana para bangsawan itu akan menerima engkau, dan paseban dimana pengawal itu ditempatkan; beratap buluh, atau daun kelapa tempat mana mereka menerima audiensi. Di salah satu sudut halaman mereka juga didirikan mesjid sendiri, tempat dimana mereka melakukan sembahyang tengah hari (Dhuhur), di sebelahnya terdapat sumur tempat mereka mencuci.
Lebih masuk ke dalam lagi, seseorang akan sampai pada pintu dengan jalan masuk yang sempit, yang diperkuat dengan beberapa gudang dan kapal, yang dijaga oleh beberapa budak untuk melindunginya, sehingga para bangsawan itu tidak dapat diserang oleh musuh-musuhnya pada malam hari.
Rumah-rumah mereka didirikan di atas 4,8 atau 10 tiang kayu, yang diukir indah sekali, beratap daun kelapa (palm) dan sisanya dibiarkan terbuka untuk mendapatkan kesejukan. Mereka tidak punya kamar lebih tinggi atau loteng dimana mereka dapat terbaring, tetapi hanya rumah penyimpanan, yaitu rumah bata yang tinggi dan tanpa jendela-jendela.”
Dalam penelitian arkeologi, melalui survey permukaan tanah dapat ditelusuri dan direkam gejala-gejala muka tanah di lokasi yang diamati untuk kemudian ditafsirkan bagaimana tata letak dan bentuk kota itu sesungguhnya; misalnya dengan membandingan beberapa kota di dunia Islam dan Asia Tenggara (khususnya Indonesia) pada periode-periode yang sama. Beberapa gejala arkeologi yang pokok seperti sisa-sisa bangunan kuno, dinding- dinding, jalan, pelabuhan, pasar dan kanal-kanal (yang ada di permukaan tanah) dapat ditelusuri dengan segera, tanpa melalui penggalian.
Dari peta-peta yang paling sederhana pun seperti skets secara cepat seseorang dapat mengetahui berbagai jenis sumber sejarah. Beberapa penulis telah menambah peta-peta skets atau peta-peta tua untuk melengkapi interpretasi mereka. Walaupun peta-peta skets dan ilustrasi tersebut dibuat secara impresif dan tanpa menggunakan alat atau skala, namun peta-peta itu dapat dijadikan panduan untuk melakukan pengamatan arkeologis dalam usaha untuk melihat ciri-ciri umum suatu situs.
Di sinilah letak peranan peta/skets untuk melengkapi penulisan yang deskriptif, dan dapat digunakan sebagai pembanding terhadap hasil fotografi ataupun gambar-gambar. Dan karena peta-peta skets tidak memiliki skala yang seragam, serta tidak memperlihatkan topografi, maka tidak dapat secara tepat digunakan untuk merancang bentuk-bentuk atau saling hubungan antara berbagai gejala arkeologis. Bagaimanapun peta-peta skets berguna untuk memperlihatkan rekaman-rekaman sementara, dan untuk menyempurnakannya perlu digunakan peta yang lebih akurat.
Dari analisis peta-peta kuno, kronologi Banten Lama dapat diamati sebagai berikut:
  • 1527 – 1570
Menurut kronik-kronik masa itu, sejak 8 Oktober 1526 kota dipindahkan dari Banten Girang ke Banten Lor (13 km ke arah selatan) pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Bangunan pertama yang didirikan oleh Maulana Hasanuddin dan dilanjutkan oleh Maulana Yusuf adalah dinding batas kota dengan dinding-dindingnya terbuat dari bata dan batu. Konfigurasi klasik dari masjid, keraton, lapangan, pasar, dan pelabuhan telah diwujudkan. Telaga Tasikardi pun telah dibangun oleh Maulana Yusuf.
  • 1570 – 1596
Kota Banten telah dikelilingi dinding batu, yang di bagian dalamnya terbagi dalam kampung-kampung berpagar. Telah dibuat sebuah kanal untuk mengalirkan air sungai Cibanten ke dalam kota. Selama periode ini, pertumbuhan kota masih terus berlanjut. Menurut Cornelis de Houtman, yang tiba di Banten tanggal 23 Juni 1596, kota tersebut besarnya seperti kota Amsterdam.
  • 1596 – 1659
Kota Banten bertumbuh terus, sehingga memerlukan perluasan kanal-kanal dan tembok-tembok keliling. Dinding kota menghadap ke arah laut, dan telah diperkuat dengan bastion-bastion serta kubu pertahanan. Lokasi pasar Karangantu terletak di sebelah timur muara sungai Cibanten dan telah diberi tembok keliling ─ tapi masih di luar dinding batas kota. Di sebelah barat didirikan perkampungan bertembok keliling yang diperuntukan bagi orang-orang asing. Menurut Cortemunde, di sebelah barat kota terdapat penginapan orang-orang Eropa dan kompleks orang-orang Cina. Di sana pun terdapat beberapa kanal, dinding kota, dan jalan yang kemudian dipindahkan.
  • 1659 – 1725
Setelah dua abad, pertumbuhan kota masih terus berlanjut; kanal-kanal telah ditambah, salah satu yang tertua di antaranya digunakan untuk perkampungan orang-orang asing (kota baru) dan di sebelah timurnya terdapat pasar yang juga berkembang. Perbentengan keliling sekarang telah disempurnakan. Meski pun tidak digambarkan di dalam peta Valentijn, Belanda telah mendirikan perbentengan yang kuat (Speelwijk) di sudut utara berhadapan dengan laut. Beberapa bagian tembok kota dan kanal telah dipindahkan.
  • 1725 – 1759
Perluasan jalan dan sistem kanal telah dibuat dengan menggali parit-parit di sekeliling keraton Surosowan dan perbentengan Belanda. Kanal yang dilintasi jembatan rante telah diluruskan ke arah timur sampai ke bagian selatan pasar Karangantu. Dari peta Heydt terdapat gambar proses perpindahan dan perubahan rencana kota yang meliputi aspek dan arsitektur, kanal-kanal, jalan-jalan, dan tembok-tembok kota.
Dengan menganalisa peta-peta kuno dan penginderaan jauh, kita dapat menelusuri perpindahan dan penafsiran kota lama Banten. Pada tahun 1750 terjadi pemberontakan terbesar di Banten. Di dalam perluasan bangunan-bangunan Belanda, menurut sejarah, tahun 1751 revolusi dapat ditindas. Situasi ini telah memperkokoh kedudukan kompeni Belanda dan menjadikan makin lemahnya Banten.
  • 1759 – 1902
Setelah kunjungan Stavorinus 1769, tidak terdapat sumber-sumber lain mencatat perkembangan kota Banten. Menurut Breughel, yang menulis catatan tentang Banten tahun 1787, terdapat beberapa gudang dan penjara, juga sebuah pendopo dengan sebuah platform setinggi 10 – 12 kaki memenuhi permukaan alun-alun. Bagian-bagian pemukiman penduduk asli kota itu tampak tidak terlalu banyak berubah, hanya ada beberapa rumah beratap genting pada masa itu.
Pada tahun 1795 cacah jiwa distrik Banten diperkirakan sebanyak 90.000 ─ cacah jiwa seluruh Jawa pada saat itu sekitar 3,5 juta orang. Di sana masih terdapat kampung Arab yang terletak di antara keraton Surosowan dan Karangantu, tetapi dikatakan pada waktu itu bahwa 4/5 rumah-rumah orang Cina sudah tidak dihuni.
Kekuatan ekonomi Batavia terlalu kuat, sehingga Banten menurut statusnya menjadi pemukiman propinsi (daerah). Peristiwa-peristiwa politik dan militer dalam perang Napoleon, pendudukan oleh Inggris, serta kembalinya pendudukan Belanda, menyebabkan pemukiman Banten perlahan-lahan menurun dan kedudukannya menjadi desa dan kemudian terbakar pada tahun 1808 – 1809. Kota Banten lenyap untuk selama-lamanya, hanya tercatat bahwa Kaibon sebagai keraton ─ didirikan pada tahun 1815 ─ untuk ibu Sultan Rafiuddin, yang kekuasaannya tidak berarti apa-apa.
  • 1902 – 1977
Situs sekarang dikenal sebagai Banten Lama (10 km di sebelah utara kota Serang). Banten kini tersisa sebagai runtuhan. Hanya sistem kanal, tembok-tembok keraton, keraton Kaibon, Speelwijk serta beberapa sarana pelabuhan serba kekurangan yang masih tersisa.
Menurut Serrurier, sebuah peta Banten Lama diterbitkan pada tahun 1902 itu telah dibuat pada tahun 1879, Serrurier seorang kurator koleksi Etnografi BG memperoleh peta tersebut dari Residen Banten pada tahun 1893.
Peta itu membagi Banten menjadi 33 kampung, dan terdapat tanda-tanda lahan lainnya. Peneliti Belanda (Brandes) menemukan peta yang “tidak dapat dipercaya”, tetapi menyetujui bahwa pemberian nama bagi beberapa kelompok pemukiman sangat berguna sebagai petunjuk kelompok-kelompok yang pernah menghuni berbagai perkampungan di Banten.
Banten dipugar dari tahun 1915 sampai 1930 oleh pemerintah Belanda, tetapi tidak mencatat setiap peralihan secara kronologis, khususnya kanal-kanal dan tembok-tembok kota. Restorasi dan pemeliharaan Banten Lama dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia dari tahun 1945 sampai sekarang. Masalah utama ialah bahwa beberapa runtuhan dan situs rusak berhamburan. Tetapi kita mencoba menyelesaikan dan merancang untuk mengembangkan situs ini sebagai “Taman Arkeologi di Banten Lama”.
  • 1977 – 1987
Suatu masterplan (rencana induk) Taman Arkeologi Banten telah dibuat dan mulai dilakukan restorasi. Perumusan hipotetik tata kota dari berbagai periode, mencari kesejajaran dengan beberapa kota lainnya dan memperbaikinya sebagai suatu informasi baru menjadi memungkinkan. Rencana ini dapat membantu mengidentifikasi area-area yang harus dipelihara secara terbuka. Situs ini, secara umum masih tetap terpelihara, dan beberapa dari sisa-sisa pondasi bangunan masih terpendam dalam tanah.
Menurut peta geologi, situs Banten Lama berketinggian sekitar 0 – 25 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan 2%. Di sebelah selatannya yaitu daerah Banten Girang, terdapat daerah perbukitan yang berketinggian antara 25 – 100 meter di atas permukaan laut.
Curah hujannya tertinggi setiap tahun sekitar 1840 mm, dan temperaturnya sekitar 26 – 27 derajat Celcius, dengan kelembaban sekitar 70%. Permukaan tanah daerah Banten Lama dan Tirtayasa (kira-kira 15 km ke arah timur) semakin rata, keduanya adalah zona alluvial (beting pantai, daerah luapan banjir dan sekitar aliran sungai). Sering kali terjadi banjir besar setelah hujan yang sangat deras.
Jenis lempung Banten Lama seperti kelabu alluvial, hidromorf, dan gleihumus. Proses pengubahan oleh air sungai berasal dari sedimentasi lempungan, sungai dangkal kurang 0.5 meter dalamnya, begitu pula air muka tanah begitu dangkal yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 – 3 meter, dan sungai berair sepanjang tahun. Hal itu membuat lumpur dari hulu yang terbawa sepanjang aliran sungai, setelah turun hujan lebat, akan membentuk tanah baru sepanjang tepi laut (disebabkan oleh pengendapan alami).

Sumber:
http://humaspdg.wordpress.com

Sejarah Singkat Kesultanan Banten

Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon dibantu pasukan Demak menduduki pelabuhan Banten, salah satu dari pelabuhan kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Cirebon dan Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan utama Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Anak dari Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (Faletehan) yaitu Maulana Hasanudin menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara. Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kesultanan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kesultanan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kesultanan Banten karena dibantu oleh para ulama.

Puncak kejayaan

Kesultanan ram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Masa kekuasaan Sultan Haji

Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Penghapusan kesultanan

Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.

Daftar pemimpin Kesultanan Banten

Sumber:

Sabtu, 18 Juni 2011

Sejarah Singkat Bojonegara

Perkembangan wilayah Banten memang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah Jawa Barat. Awalnya Banten adalah salah satu pelabuhan kecil milik Kerajaan Padjajaran (salah satu kerajaan Hindu terbesar di Jawa Barat pada abad 14 masehi), yang pusat kerajaannya berada di Pakuan (di sekitar kota Bogor sekarang). Perkembangan wilayah Banten semakin pesat setelah seorang muslim bernama Hasanuddin pada tahun 1527 merebut Banten Girang dari tangan Kerajaan Padjajaran. Wilayah Banten Girang akhirnya menjadi wilayah vassal (bawahan) dari Kerajaan Demak. Namun pada tahun 1550, Banten melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak dan berdiri sendiri menjadi sebuah kesultanan yang independen. Hasanuddin diangkat menjadi sultan pertama yang memerintah wilayah tersebut.

Pada abad 16 hingga 17, Banten adalah kota terbesar di Asia Tenggara. Penduduknya mencapai 100.000 jiwa. Transportasi perdagangan menggunakan rakit dalam kanal-kanal buatan yang melintas di tengah kota. Banten pada saat itu sudah maju dan berkembang pesat seperti beberapa kota besar di eropa. Sebagai salah satu kota pelabuhan yang megah, Banten mempunyai dua buah pelabuhan yang besar. Pelabuhan pertama adalah pelabuhan yang menghubungkan Banten dengan para pedagang asing yang lokasinya terdapat di sebelah barat sungai Cibanten, sedangkan pelabuhan yang digunakan untuk kepentingan perdagangan regional terdapat di sebelah timur sungai.

Sedangkan pusat kota sekaligus pusat pemerintah terdapat di tengah tengah dua pelabuhan tersebut. Sebagai salah satu pelabuhan besar di Asia Tenggara pada saat itu, Banten memiliki pelabuhan yang tidak hanya besar tetapi juga lengkap dengan prasarana pelabuhan lainnya seperti, dermaga yang panjang menjorok ke laut, dok kapal, hingga gudang-gudang penyimpanan. Gambaran tentang pelabuhan tersebut secara detail dilukiskan oleh seorang pelaut W Shouten"s yang sempat berkunjung ke Banten pada tahun 1670. Lukisan W Shouten"s kini tersimpan di National Library di Paris. Pelabuhan Banten saat itu terlihat sangat besar dan teratur. Sepanjang pelabuhan bersandar kapal kapal dagang asing berlayar tinggi berjajar dan merapat di sana. Seiring dengan makin pesatnya aktivitas perdagangan di Banten, wilayah ini kemudian berubah menjadi salah satu pusat perdagangan yang cukup besar, melibatkan banyak negara Eropa dan Asia Timur Jauh.
Bahkan Banten disebut sebut sebagai salah satu pelabuhan paling strategis yang menghubungkan Asia dengan bangsa Eropa pada saat itu. Selain mengandalkan aktivitas perdagangan melalui dua pelabuhannya, Banten juga mempunyai modal lain di bidang ekonomi yaitu perkebunan. Sedangkan jenis tanaman yang ditanam dan menjadi andalan ekonomi Banten adalah gula dan rempah- rempah (merica, lada dan kayu manis).

Kawasan Bojonegara termasuk dalam Wilayah Kabupaten Serang Propinsi Banten. Propinsi Banten terbagi menjadi empat wilayah kabupaten dan dua wilayah kota dengan total area 8.651.20 km2, yaitu: (Wilayah Administrasi Propinsi banten dapat dilihat pada peta 2.1)
• Kabupaten Serang, 1.643,72 km2
• Kabupaten Lebak, 2.941,40 km2
• Kabupaten Pandeglang, 2.595,35 km2
• Kabupaten Tangerang, 1.124,65 km2
• Kota Tangerang, 179,06 km2
• Kota Cilegon, 167,06 km 2

Jumlah kecamatan di seluruh Banten sebanyak 124, jumlah desa sebanyak 1.337 dan kelurahan sebanyak 144. Secara administratif Kawasan Bojonegara termasuk dalam Wilayah Kabupaten Serang tepatnya di Kecamatan Bojonegara dan Kecamatan Pulo Ampel (merupakan pemekaran dari Kecamatan Bojonegara). Kecamatan Pulo Ampel dan Bojonegara memiliki luas keseluruhan sekitar 6.700,2 hektare dan dihuni hampir
75.000 jiwa. Saat ini diwilayah Bojonegara telah dibangun Pelabuhan internasional seluas 1100 Ha dengan pantai yang menghadap kelaut sepanjang 11,3 Km. Disekitar kawasan tersebut telah berdiri kawasan industri yang direncanakan mencapai 1372 hektar meliputi sebagian desa Salira, Mangunreja, Sumureja, Mangkunegara, Bojonegara, Ukisari, Margasari, Argawana, Margagiri, jenis industri yang dikembangkan adalah industri logam dasar, kimia dasar, rekayasa dan rancang bangun.
 
Terdapat beberapa Potensi Pengembangan Wilayah Bojonegara, diantaranya :
a. Posisi dan letak geografis wilayah Bojonegara dalam konstelasi regional cukup strategis
b. Aksesibilitas wilayah Bojonegara yang tinggi (terdapat jalan propinsi, jalan tol Jakarta – Merak)
c. Tersedianya sumberdaya lahan relatif besar di wilayah Bojonegara yang sesuai dikembangkan untuk pengembangan perkotaan.
d. Tersedianya sumberdaya mineral berupa batu pasir dan tanah urug untuk mendukung pembangunan fisik kota.
e. Terdapatnya sumberdaya kelautan yang memungkinkan untuk pengembangan kegiatan penangkapan ikan dan daya dukung fisik untuk pengembangan IHP Bojonegara
f. Tersedianya sumberdaya manusia yang terdiri dari berbagai tingkat pendidikan dan keterampilan untuk menunjagn kegiatan di wilayah Bojonegara.
g. Keterbukaan masyarakat dalam menerima pembaharuan dan pembangunan nasional.
h. Terdapatnya sumberdaya binaan yakni sarana dan pasarana pemerintahan, pendidikan, kesehatan, peribadatan dll) 
 
Terdapat beberapa masalah Pengembangan Wilayah Bojonegara, diantaranya :
a. Curah hujan yang kecil (kurang dari 1000mm/tahun) di bagian timur, hal ini berakibat di wilayah ini relatif kering.
b. Adanya penduduk yang menempati area dengan kelerengan > 40 %
c. Terdapatnya kegiatan penambangan, pertanian di kawasan hutan lindung
d. Terjadinya penggusuran/ pembebasan lahan masyarakat, seperti perumahan, sawah, tegalan, kebun campuran serta perkantoran dan fasilitas umum sebagai dampak pengembangan pelabuhan, kawasan
industri, kawasan perkotaan, jalan tol dan kereta api
e. Kualifikasi/ kualitas penduduk setempat di wilayah Bojonegara yang masih rendah
f. Peningkatan harga tanah yang tinggi
g. Ancaman terjadinya pemukiman kumuh di kawasan nelayan atau di sempadan sungai/ di tanah-tanah negara.

Sejarah Singkat Gunung Santri

Walau bentuknya sebuah bukit, sebagian besar masyarakat menyebutnya Gunung Santri. Memang tingginya tak setinggi gunung-gunung lainnya di Banten dan Jawa Barat. Namun, perjalanan menuju puncak sangat melelahkan. Bayangkan, para peziarah harus mendaki melalui tangga yang disemen permanen dan jalur yang
meliuk-liuk sepanjang 600 meter.Gunung Santri terletak sebelah barat laut pantai utara Banten, dari Kota Serang sekitar 25 Km dan 7 Km dari Kota Cilegon, atau tidak jauh dengan pelabuhan lama Banten. Gunung Santri sebagai salah satu obyek wisata sejarah yang memiliki nilai religius.

Bagi para peziarah, ke makam Sultan Maulana Hasanuddin belum dianggap sempurna bila tidak melanjutkan ziarah ke Makam Syeikh Muhammad Sholeh yang wafat pada tahun 1550 Masehi/958 Hijriah. Biasanya, para peziarah ramai datang pada bulan Rabiul Awal (Maulid), Syawal (Idul Fitri), menjelang musim haji dan bulan Ramadan.

Keberadaan tempat ziarah di Gunung Santri ini, menjadi salah satu mata pencaharian penduduk setempat. Seperti berdagang makanan, minuman dan suvenir di sepanjang jalan masuk menuju lokasi hingga puncak gunung. Di sekitar lokasi Gunung Santri, beberapa kawasan sudah dikuasai investor dari Jakarta. Pemerintah daerah pun berencana untuk menata lokasi itu.

Bagi para santri atau peziarah yang sedang belajar agama, tentunya memiliki makna sendiri dengan keberadaan Gunung Santri, apalagi di puncaknya bersemayam seorang ulama saleh, ulama gunung yang memiliki tingkat dan derajat kewalian.

Seperti dinukilkan sejumlah ulama besar terdahulu yang mengutip ucapan Sayyidina Ali bin Abu Thalib RA bahwa sabar adalah gunung yang tak pernah terguling.

Begitulah, ibarat gunung yang kokoh semasa hidupnya Syeikh Muhammad Sholeh memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Dalam berdakwah di wilayah Banten untuk mengawal Sultan Maulana Hasanuddin, Syeikh Muhammad Sholeh dikenal sangat sederhana dan hidup bertani.

Tingkatan ulama semacam ini dikenal sebagian kalangan sebagai ulama Al Karam atau tersembunyi (di desa). Di mana ulama Al Karam ini akan selalu bergantung kepada ulama Al Mahsyur (yang terbuka atau di perkotaan). Saat itu, Syeikh Muhammad Sholeh yang merupakan murid Sunan Gunung Jati adalah pengawal Sultan Maulana Hasanuddin (putra Sunan Gunung Jati).

Selain Makam Syeikh Muhammad Sholeh bin Abdurrohman, di puncak Gunung Santri juga terdapat Makam Syeikh Maulana Malik Isroil. Ulama kelahiran Turki ini diutus Sultan Muhammad I sebagai salah satu anggota Wali Songo periode pertama.

Maulana Malik Isroil bin Abul Hasan Asy Syadzili ini memiliki garis keturunan (nasab) langsung dari Rasullulah Muhammad SAW. Maulana Malik Isroil berdakwah di daerah Cilegon, Banten. Beliau memiliki 3 murid yang diapersiapkan untuk menjadi Raja, yaitu Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri), Raden Fatah (Demak) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Maulana Malik Isroil wafat 1435 M dan dimakamkan di puncak Gunung Santri. Selain itu, juga diyakini ada Makam Maulana Muhammad Ali Akbar Ulama dari Persia (Iran) seorang ulama ahli pengobatan dan pertanian yang berdakwah di Jawa Tengah.

Sebenanya di kawasan Banten, Pulau Jawa atau daerah lainnya di Nusantara ini banyak makam-makam ulama hikmah atau ulama gunung yang memiliki ilmu keagamaan yang tinggi.

Sumber:
1. Bapak Drs. K.H. Mansyur Muhyidin (Ketua Umum Pencak Silat Bandrong Banten-Indonesia)
2. Bapak Aat Syafaat S.A (Pendiri Pengenggreman Jagat Netra)

Sejarah Singkat Pencak Silat Bandrong Pulo Kali - Banten

Pada waktu Sultan Maulana Hasanudin dinobatkan menjadi sultan di Banten ( 1552-1570 ), beliau mempunyai seorang patih yang bernama kiayi semar ( Ki semar ), beliau berasal dari kampung kemuning Desa tegal luhur. Sang patih pada hari jum’at selalu izin kepada sultan untuk kembali ke kampungnya karena pada hari tersebut ia berdagang daging kerbau di pasar Balagendong Desa Binuangeun ( dulu Kecamatan ). Pada suatu hari ketika Ki semar sedang berjualan dilapaknya tiba – tiba datanglah seseorang yang akan membeli dagangannya, orang itu bernama Kiayi Asyraf ( Ki Sarap ) tujuannya untuk membeli limpa atau sangket. Tapi oleh Ki Semar keinginan si pembeli di sepelekan karena dianggapnya orang miskin tak akan mampu membeli sangket yang harganya sangat mahal, padahal Ki sarap sebenarnya ingin untuk membelinya. Karena Ki sarap memaksa untuk membeli sedangkan Ki semar tetap bertahan tidak mau menjualnya, sehingga suasana menjadi tegang, kemudian terjadilah pertangkaran mulut, dan akhirnya terjadilah bentrokan fisik.
Tangan Ki Sarap di kelit ditekuk dibelakang punggung, dan dengan angkuh serta melecehkan, Ki Semar mengatakan “ tak mungkin orang miskin seperti kamu mampu membeli barang daganganku ini”. Ki sarap sangat marah disebut sebagai orang miskin tapi diam saja menahan amarah karena kejadian tersebut di tempat umum. Akhirnya dia pulang dengan tangan hampa tanpa membawa sangket yang diinginkannya, saat pikirannya dipenuhi perasaan tersinggung oleh ucapan Ki semar yang sangat menyakitkan hatinya, kemudian timbulah rencana untuk menghadang Ki semar dalam perjalanan pulang kerumahnya nanti.
Sekitar pukul 10.00 siang ketika itu para pedagang dipasar mulai bubar dan Ki semar mulai beranjak pulang menuju rumahnya di kampung kemuning, ia berjalan tergesa – gesa karena pada hari itu ia harus mengejar sholat jum’at berjamaah. Di tempat yang sepi antara Balagendong dan kampong kemuning, tiba – tiba muncul Ki Sarap di tengah jalan menhadang Ki Semar, saat itu Ki Sarap yang hatinya sudah dipenuhi kemarahan tanpa basa - basi lagi langsung menyerang, Ki Semar berusaha membela dirinya sehingga terjadilah memengan, adu kekuatan ilmu kemonesan / kesaktian.
Kemudian masing – masing mengeluarkan ilmu ketangkasan dan kehebatannya, memang mereka berdua sama – sama kuat, tangkas dan sakti kanuragan. Perkelahian antara keduanya itu berlangsung sejak jam 11.00 siang sampai jam 18.00 sore menjelang magrib. Ki sarap telah mengeluarkan seluruh kemampuannya, semua jurus, kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak kombinasi, sodok dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi Ki Semar juga sama tangguhnya, setiap kali kena benturan pukulan keras Ki Sarap, setiap kali itu pula benturannya mengeluarkan suara seperti gendring dan juga mengeluarkan kilatan api dari tubuh Ki Semar.
Begitu pula Ki sarap yang tangguh, beliau menguasai ilmu pencak silat bandrong, tubuhnya sama sekali tak dapat di sentuh oleh serangan – serangan Ki semar yang datang beruntun seperti air bah. Pencak silat bandrong sangat ampuh sebab dalam langkah dan jurusnya terdapat banyak versi dan variari pukulan, mampu berkelit dari pukulan atau tendangan musuh, bacokan golok, tusukan pisau atau senjata apapun, seorang pesilat bandrong akan dapat berkelit dengan sangat indah, licin dan gesit luar biasa. Bahkan serangan baliknya sangat membahayakan bagi lawan – lawanya. Prinsip dasar gerakan Bandrong adalah " pertahanan yg terbaik adalah menyerang ".
Semakin keras serangan musuhnya, semakin keras pula jatuhnya, bahkan pesilat bandrong dapat menawarkan kepada musuhnya ingin jatuh terlentang atau telungkup bahkan terpelanting, hal seperti ini akan membuat musuh – musuhnya kewalahan. Peristiwa itu memang luar biasa, keduanya ternyata sama – sama sakti Ki semar sangat kebal pukulan, Ki sarap sangat licin bagai belut dan tangkas menyerang seperti ikan bandrong yang melesat terbang dan menukik. Ketika alam mulai gelap mendekati waktu magrib, tiba – tiba Ki sarap menghadapkan tubuhnya kearah kiblat kepalanya menengadah kelangit bermunajat dan istighosah kepada Allah SWT, setelah selesai berdo’a terlihat kakaknya yang bernama Ki ragil sedang duduk di pelepah pohon aren yang tinggi, agaknya sudah lama dia memperhatikan pertarungannya.
Melihat itu Ki Sarap pun berteriak ” kakak ! sudah sejak pagi hingga sore aku bertarung melawan orang ini, tapi belum ada yang kalah” . Ki Ragil pun bertanya : ” Apa kamu sudah lelah atau kewalahan ?”, hai adikku, ini ambillah golokku tebaslah leher musuhnmu ” ujar Ki ragil sambil menjatuhkan goloknya. Kemudian Ki sarap mengambil golok itu dan menebas leher Ki semar, dengan sekali tebas kepala Ki semarpun terpental puluhan meter, lalu kepala itu berputar seperti gangsing kemudian menghujam kedalam tanah. Hingga saat ini tempat kepala terkubur yaitu dipinggir sungai di tepi hutan antara balagendong dan kampung kemuning menjadi tempat yang sepi dan kabarnya angker banyak gangguan mahluk halus hingga sekarang ini.
Usai sudah pertandingan hebat itu yang dimenangkan oleh Ki sarap, kemudian masyarakat yang menyaksikan adu kekuatan itu segera mengangkat tubuh Ki semar yang tanpa kepala dibawa kekampung untuk di urus sebagaimana mestinya dan kemudian dimakamkan dikampung kemuning desa tegal luhur. Tersiarnya kabar tentang kematian Ki semar yang saat itu menjabat sebagai senopati tanah banten, merupakan berita yang menghebohkan dan berita itu dibicarakan dihampir semua tempat orang berkumpul membicarakan tentang kejadian tersebut dan sampailah berita tersebut kepada Sultan Maulana Hasanudin di Banten. Mendengar berita tersebut Sultan sangat terkejut dan marah, kemudian memerintahkan kepada punggawanya untuk menangkap Ki Sarap yang di anggap sebagai pembunuh Ki Semar sang senopati Banten.
Sepasukan tentara lengkap segera di berangkatkan ke gudang batu untuk menangkap Ki Sarap yang kemudian dihadapkan kepada sultan karena akan diadakan pengusutan lebih lanjut tentang pembunuhan itu. Selanjutnya atas perintah Sultan Banten, Ki Sarap di masukkan kedalam penjara dan akan dihukum mati di tiang gantungan. Selama dalam penjara Ki sarap selalu bermunajat kepada Allah SWT untuk mendapat perlindungan Nya, disamping itu juga ia juga mengamalkan ilmu asihannya ( Aji – aji pengasih ) agar dia diampuni dan dikasihani oleh Sultan Maulan Hasanudin. Berkat pertolongan Allah SWT, aji – aji pengasih Ki sarap bukan hanya berpengaruh kepada sultan, tapi juga manjangkau hati sanubari permaisuri Sultan Maulana Hasanudin.
Dalam suatu musyawarah mengenai hukuman yang akan dijatuhkan kepada Ki Sarap, permaisuri Sultan mengemukakan pendapatnya bahwa hukuman mati untuk Ki Sarap sangat tidak tepat dengan alasan :
1. Ki Sarap dan Ki semar bertarung mengadu kesaktian dan yang hidup adalah karena membela diri sendiri berarti hal itu bukanlah pembunuhan.
2. Kerajaan Banten sangat membutuhkan orang – orang yang gagah berani, kuat dan banyak ilmunya seperti Ki Sarap untuk menghadapi musuh yang lebih besar lagi, hal ini jelas Ki Sarap lebih kuat dengan berhasilnya dia mengalahkan Ki Semar yang saat itu menjabat Senopati Banten.
Dengan adanya usul permaisuri tersebut Sultan tidak langsung menerima begitu saja, tapi saran itu di renungkannya lagi dan dimusyawarahkan bersama para pembantu Sultan yang lainnya, dan akhirnya pendapat permaisuri itu dapat di terima oleh Sultan. Selanjutnya Ki Sarap dipanggil menghadap Sultan Maulana Hasanudin dan dijelaskan oleh sultan bahwa hukuman mati untuknya dibatalkan kemudian Ki Sarap diberi tugas untuk menggantikan Ki Semar sebagai senopati Kesultanan Banten dengan syarat harus mau melalui ujian ketangkasan yaitu menembak anting – anting ( gegombel ) tudung permaisuri Sultan tanpa melukainya sedikitpun. Persyaratan tersebut diterima oleh Ki Sarap, walaupun dia tahu resikonya sangat tinggi mengingat dia bukanlah seorang ahli dalam hal menembak.
Ki Sarap meminta waktu selama tiga hari sebelum ujian tersebut dilaksanakan, ia memohon izin agar dibolehkan pulang ke kampungnya di Gudang batu. Setelah sampai di kampungnya, Ki Sarap segera menghadap kepada kakaknya yaitu Ki Ragil dan memberi tahukan masalah yang sedang dihadapinya, maksud Ki Sarap menceritakan tentang ujian dari sultan tersebut untuk meminta petunjuk atau bantuan saran dari kakaknya. Ki Ragil mengatakan ” pergilah dan bawalah benda ini, untuk dimasukan kedalam senapan saat pelaksanaan ujian itu nanti”.
Kemudian Ki Ragil memberi beberapa petunjuk tata cara menembakkan senjata sebagai berikut :
” Jika sang permaisuri berada di daerah timur menghadap ke arah barat, berbaliklah ke arah yang sama dan arahkan senapanmu ke arah barat pula dan jika permaisuri di arah utara menghadap keselatan, maka kamu pun harus demikian pula arahnya”. Setelah semua pesan dari Ki Ragil dimengerti dengan sebaik – baiknya, maka Ki Sarap memohon doa dari kakaknya untuk segera kembali menghadap Sultan Maulana Hasanudin di Banten. Sore hari itu Ki Sarap telah sampai di Banten dan langsung menghadap Sultan, saat itu Sultan Maulana Hasanudin tercengang kagum dan gembira menyaksikan Ki Sarap yang konsekwen dengan permintaan izinnya untuk pulang hanya tiga hari, itupun ditepatinya dengan baik.
Pada hari yang telah ditentukan, tibalah saat yang dinanti – nantikan oleh seluruh masyarakat Banten, karena pada hari itu sultan akan menguji ketangkasan seorang calon Senopati Banten. Di alun – alun kesulatanan Banten, sejak pagi hari masyarakat sudah memenuhi arena tempat pengujian, mereka sangat antusias untuk menyaksikan peristiwa yang sangat menegangkan dan hal ini mereka anggap sebagai peristiwa langka dan belum pernah terjadi. Di tengah – tengah alun – alun sang permaisuri duduk dikursi yang berada disebelah timur menghadap ke arah barat, dengan jarak sekitar 30 meter, Ki Sarap berdiri berhadapan dengan permaisuri. Kemudian Ki Sarap mulai membidikan senapannya ke arah sasaran, tapi secara tiba – tiba dengan gerakan yang cepat Ki Sarap membalikan tubuhnya kearah barat, bidikan senapannya ditujukan ketempat kosong, dengan hati hati dia menarik pelatuknya kemudian terdengarlah letusan senapanya.
Dan apa yang terjadi ? ” ternyata peluru yang ditembakkan tepat mengenai ” gegombel ” kerudung sang permaisuridan terdengar ” pluk” suara gegombel yang jatuh ke tanah tetapi permaisuri Sultan tetap ditempatnya semula tak tersentuh oleh peluru yang ditembakkan oleh Ki Sarap.
Jatuhnya gegombel kerudung permaisuri diiringi oleh suara sarak sorai yang gemuruh dari seluruh masyarakat yang menyaksikannya. Tepuk tangan yang berkepanjangan menggambarkan kepuasan dan kegembiraan masyarakat karena telah memiliki senopati baru yang gagah, hebat dan tinggi ilmunya. Permaisuri menitikkan air mata bahagia karena saran pendapatnya sudah menjadi kenyataan bahwa kesultanan Banten Kini telah diperkuat oleh seorang senopati sakti yang berasal dari daerah Gudang batu yaitu Ki Sarap. Kemudian Ki Sarap diberi gelar kehormatan yaitu ” SENOPATI NURBAYA ”. Senopati Nurbaya yang kemudian dikenal Ki urbaya menjalankan tugas utamanya untuk mengamankan wilayah laut jawa terutama teluk banten dan pelabuhan karang antu.
Beliau bermarkas di ” BOJONEGARA ” untuk menghadapi para bajak laut yang mereka sebut BAJAG – NAGARA, para bajak laut itu bermarkas di Tanjung Bojo dan biasanya hasil rampokan mereka disembunyikan atau ditunda dulu di ” Pulo tunda ” sebelum dibawa kedaerahnya masing – masing. Kini tempat – tempat tersebut menjadi terkenal dan namanya dikekalkan dengan peristiwa yang terjadi disana kini menjadi nama yang mengandung kenangan abadi. Selama bertugas di Kesultanan Banten, Ki Patih Nurbaya atau panggilan lainnya Ki Jagabaya atau Ki Jagalaut menjaga wilayah yang dikuasainya sehingga wilayah tersebut menjadi aman dan tentram tak pernah ada gangguan dari para pengacau terutama para bajak laut yang dulu berkeliaran menguasai Laut Jawa dan Teluk Banten. Karena tugasnya selalu menjaga laut, akhirnya nama k\Ki Sarap lebih populer dengan gelarnya : ”KI JAGABAYA” atau ”KI JAGA LAUT”. Dunia terus berputar sejarah berjalan sesuai dengan kehendak tuhan, lama juga Ki Jagabaya menjalankan tugasnya mengamankan daerah yang di amanatkan kepadanya.
Beliau memusatkan pertahanannya di PULO KALI, sekarang menjadi sebuah kampung yg berada diwilayah kecamatan Pulo Ampel dan terkenal dg kegiatan Pasar Rakyat pada hari selasa dan jum'at, tepat dipasar itu juga terdapat rumah salah satu sesepuh Padepokan Bandrong dan Kantor Sekretariat Pengurus Bandrong Pusat ( Nasional ) yg berdampingan dg kantor POLSEK Pulo Ampel. Apabila beliau mengintai musuh dilakukannya dari puncak gunung Santri seban dari tempat ini mudah baginya untuk melihat kearah laut lepas, dapat melihat kapal yang datang dan pergi dari Bojonegara dan juga dapat berkomunikasi dengan Pulo Kali dan menara Banten. Ki Jagabaya atau Ki Jaga laut menggunakan isyarat – isyarat bahaya dengan cara sebagai berikut :
1. Apabila bahaya terjadi disiang hari mereka menggunakan sinar matahari yang dipantulkan melalui cermin.
2. Apabila bahaya terjadi malam hari mereka menggunakan isyarat kobaran api unggun. Semua itu dilakukan dari puncak gunung santri dan dapat dipantau dari Pulo Kali dan Menara Banten.
Saat usianya menjelang senja, Ki Patih Nurbaya menyadari tentang pentingnya kaderisasi atau generasi penerus. Beliau berniat menurunkan ilmunya terutama ketangkasan khusus yaitu ilmu beladiri ” Pencak Silat Banten” yang disebutnya ” Bandrong” , ilmu itu secara khusus diturunkan kepada putra Sultan Maulana Hasanudin, selanjutnya para punggawa dan prajurit serta murid – muridnya yang berada di Pulo Kali dan Gudang batu waringin kurung.
Selanjutnya pendidikan ketangkasan dan kedigjayaan itu dipusatkan di Pulo Kali dan dibina langsung oleh kedua kakak beradik Ki Sarap dan Ki Ragil. Disanalah mereka berdua menghabiskan masa tuanya, kemudian setelah dipanggil menghadap Tuhan Nya, mereka berdua dimakamkan di pemakaman umum di daerah Kahal wilayah kecamatan Pulo Ampel. Hingga sekarang tempat itu dikenal dengan sebutan ” MAKAM KI KAHAL” dan alhamdulillah sampai sekarang banyak masyarakat yang datang mengziarahinya terutama para pesilat Bandrong yang saat ini sudah menyebar di lima propinsi di indonesia.

Asal Usul nama Silat Bandrong
Mengingat kesetiaan masyarakat di kawasan gunung santri, Gudang batu, dan Pulo Kali terhadap Kesultanan Banten, maka diresmikanlah Bojonegara artinya Bojone Negara ( istri negara ), sekarang wilayah tersebut sudah dimekarkan menjadi dua kecamatan, Bojonegara dan Pulo Ampel, Pulo Kali sekarang berada diwilayah Pulo Ampel yg menjadi Ibu Kota Kecamatan Pulo Ampel. Sedangkan silat asli banten diberi nama BANDRONG, diambil dari nama jenis ikan terbang yang sangat gesit dan dapat melompat tinggi, jauh, atau dapat menyerang kerang dengan moncongnya yang sangat panjang dan bergerigi tajam sekali, sehingga ia merupakan ikan yang sangat berbahaya, sekali serang dapat membinasakan musuhnya. Ki Patih Jaga laut atau patih yang selalu melanglang buana menjaga laut, sangat menyukai dan sering memperhatikan ikan tangkas gesit ini dan juga jangkauan lompatan jarak jauhnya dan hal itu benar – benar mempesonanya. Sehingga akhirnya beliau mengambil nama ikan itu untuk memberi nama ilmu ketangkasan beladiri yang dimilikinya dengan nama ” PENCAK SILAT BANDRONG” karena tangkas dan gesit serta berbahaya seperti ikan Bandrong.

JURUS DASAR PADA SILAT BANDRONG
1. JURUS PILIS
2. JURUS CATROK
3. JURUS TOTOG
4. JURUS SELIWA
5. JURUS GEBRAG
6. JURUS KURUNG

Gerakan dasar langkah silat Bandrong
1. Geleng / giling
2. Cawuk
3. Wiyak
4. Rawus
5. Rambet
6. Pentil
7. Keprak
8. Sendok
9. Jingjing
10. Colok
11. Badug
12. Tejeh
13. Pukul
14. Depok
15. Goco
16. Sentak
17. Sabet
18. Sepak
19. Dupak
20. Dedeg
21. Bulang baling
22. Gendong
23. Gedog
24. Gunting
25. Sapu
26. Sangsut
27. Gedrig

Sumber  :

1. ” Ngagurat Tapak Leluhur Banten Pencak Silat Bandrong ”
2. Dewan Pimpinan Pusat Pencak Silat Bandrong ( Pulo Kali, Kel. Pulo Ampel, Kec. Pulo Ampel )
3. Hasil Wawancara dan diskusi dengan Bapak Satibi dan Bapak Astare sesepuh Bandrong perguruan
Padepokan Silat Jalak Emas, Desa Margagiri Kec. Bojonegara – Serang - Banten